Kamis, 16 Agustus 2018

ANAK YANG BAHAGIA
AUTOBIOGRAFI

Sejak kecil aku merasa bahwa hidupku sangat indah dan bahagia. meskipun tidak selalu seperti yang aku inginkan bahkan kadang diselingi oleh tangis dan air mata. Tapi itulah yang menjadikan hidupku semakin berwarna.
Kisahku dimulai 30 tahun yang lalu. Disebuah desa kecil di perbatasan kabupaten sragen dan karanganyar. Aku lahir seminggu setelah perayaan kemerdekaan tepatnya 24 Agustus 1988. Kelahiranku membawa kebahagiaan tersindiri bagi pasangan muda Suparno dan Poniyem.  Mereka memberi ku nama Istiqomah sesuai dengan harapan mereka agar aku selalu teguh dapam pendirianku.
Aku tumbuh di keluarga sederhana. Ayahku hanya petani yang menggarap sepetak sawah kecil. Sedangkan ibuku hanya buruh tani. Kami tinggal di desa kecil di kaki gunung lawu. Sebuah desa yang di kenal dengan nama Kaliwuluh. Desa ini terletak di kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar. Dari halaman rumah mungilku aku bisa puas menikmati mentari terbit dari gunung lawu. Sedangkan saat senja tiba aku bisa memandang mentari terbenam di balik Gunung Merapi dan Merbabu. Maklumlah rumahku terletak di ujung desa dan dikelilingi sawah.
Sejak kecil kedua orang tuaku selalu mengajarkan agar anak-anaknya tumbuh mandiri. Mereka juga mengajarkan kepada kami bahwa untuk mendapatkan sesuatu diperlukan usaha dan pengorbanan. Apalagi jika apa yang kami inginkan dianggap bukan sesuatu yang penting untuk pendidikan atau kebutuhan kami. Rengekan tangis kami tidak pernah mempan untuk merayu orang tua kami membelikan kami mainan atau boneka yang harganya mahal. Namun, jika barang yang kami inginkan betul-betul kami butuhkan mereka akan membelikannya. Masih ku ingat, aku rela tidak jajan satu minggu hanya untuk beli jepit rambut seharga Rp 2.000. 
Aku tumbuh seperti anak desa pada umumnya. Kami yang bersuka ria menyambut hari minggu. Bagaimana tidak dari pukul 06.00 hingga pukul 12.00 kami bisa menonton kartun sepuasnya. Minggu pagiku selalu ditemani Doraemon, Mojako, Ninja Hatori, Hamtaro, Jiban Jamperson Power Rangers, Ulraman, Detektif Conan dan masih banyak lagi. Semua itu semakin menyenangkan karena kami selalu nonton beramai-ramai. Tidak hanya nak-anak dari RT ku tapi juga dari desa RT tetangga yang ikut nonton bareng. Maklum lah saat itu di RT tempat ku tinggal hanya dua orang yang punya televisi itupun masih hitam putih.
Biasanya sekitar pukul dua belas kami akan pulang ke rumah masing-masing. Tapi cerita kami masih belum berakhir. Tidak lama setelah itu kami sudah kembali berkumpul halaman rumahku. Halaman rumahku merupakan tempat bermain kesukaan kami. Selain karena tempatnya yang luas  karena tidak ada pagar yang memisahkan halaman rumahku, kakek dan dan bulikku. Kami bisa bermain seharian hanya dengan berbekal pisau dapur dan kaleng susu bekas, pecahan genting, kayu kering, dan batu pun bisa menjadi mainan bagi kami.
Berbagai permainan bisa kami lakukan mulai rumah-rumahan, masak-masakan, bermain kelereng, lompat tali, betengan, singkongan yaitu sejenis permainan petak umpet yang menggunakan tiga kayu kecil berukuran satu sengkal yang disusun seperti piramida sebagai base yang harus dijaga. Jika base dihancurkan maka semua orang yang sudah tertangkap akan kembali bebas dan sembunyi lagi. Bahkan untuk bermain dakon atau congklak kami hanya membutuhkan kerikil, untuk mengganti congklaknya kami cukup membuat lingkaran dari pecahan bata merah atau genting di atas ubin atau lantai. Sederhana bukan tapi bagi anak desa seperti kami ini adalah kebahagian yang tidak tergantikan.
 Kami tidak mengenal kesetaraan gender karena kami semua sama, sama-sama anak-anak yang suka bermain bersama. Tidak ada istilah cowok banci jika bermain rumah-rumahan atau masak-masakan. Begitu juga kami anak-anak perempuan jago bermain layang-layang, balapan sepeda atau mencari ikan disungai. 
Kebetulan di depan rumahku ada sungai kecil. Saat musim kemarau air sungai surut dan jernih. Sehingga kami mudah melihat target buruan kami. Celah batu dan gorong-gorong adalah tempat persembunyian favorit bagi ikan sungai. Tidak perlu pancing atau jaring ikan kami hanya butuh cikrak bambu dan ember.   Satu cikrak sengaja kami pasang di hilir sungai agar tidak ada ikan yang lolos. Ritual penangkapan ikan kami selalu diakhiri dengan hal sama. Sebuah cikrak dipasang di ujung bawah gorong-gorong. Lalu kami akan membuat  gelombang dari atas saat sampai di ujung atas gorong-gorong anak terkecil akan memasuki gorong-gorong sambil mengarahkan air keluar ke ujung satunya. Dengan begitu hasil tang kapan kami semakin banyak. Ikan yang kami tangkap akan dibagi sama rata.
Sedangkan untuk masalah pendidikan orang tuaku sangat mendukung. Semua yang aku butuhkan sekolahku selalu dipenuhi. Meskipun hanya lulusan Sekolah Dasar mereka tidak pernah membatasi pilihan kami meskipun semua itu ada syaratnya. Seperti ketika aku megatakan ingin Sekolah SMA di kota Solo. Mereka mengabulkan asal sekolah negeri dan masih bisa ditempuh dengan satu kendaraan umum. Dan akhirnya aku memilih SMA N 6 SURAKARTA. Setelah lulus aku melanjutkan kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Selama kuliah aku memilih mengambil kerja sambilan sebagai guru les privat dan membantu di warung makan milik tetangga nenek ku. Gaji yang aku peroleh lebih dari cukup untuk uang saku, jadi sisanya bisa aku simpan untuk fotokopi materi dan tigas kuliah.
Setelah lulus aku tidak langsung memperoleh pekerjaan tetap. Ternyata mencari kerja itu sudah juga. Dari sekian banyak lamaran yang aku kirimkan selama  enam bulan belum ada yang berhasil. Tapi setidaknya aku masih menjadi guru les privat. Pada tahun ajaran baru akhirnya saya kuatkan tekat untuk membuka bimbingan belajar CERDAS. Untuk tenaga pengajar saya dibantu oleh adik saya yang saat itu masih menjadi mahasiswa di FKIP UNS.
Empat bulan setelahnya aku menerima tawaran sebagai tenaga administrasi di SMP IT Abu Jafar karena jam kerja di sana tidak mengganggu jadwal les ku. Karena masih baru jadi tugas administrasi masih sedikit aku pernah di perbantukan sebagai wali kelas di SDIT Abu Ja’far karena ada dua guru yang cuti melahirkan. Tapi itu semua hanya bertahan selama enam bulan. Karena ketua yayasan memutuskan untuk memindahkan aku ke Rumah Sakit Umum Ja’far Medika.
Hingga saat ini aku masih bekerja sebagai sekretaris Direktur di Rumah Sakit Umum Ja’far Medika. Meskipun demikian Bimbingan Belajar CERDAS tetap hidup sampai sekarang. Saat ini selain adiku aku dibantu oleh satu guru lagi. Tahun ajaran ini kami memiliki sekitar 50 peserta didik. Jumlah yang sedikit kan? Tapi ada kebahagiaan tersendiri bagi ku saat bertemu dan menemani mereka belajar. Aku senang karena tidak hanya mendapatkan uang tambahan aku juga bisa mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang aku miliki.

#alineaku
#onlinekonselor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar