Senin, 11 Agustus 2014

Di ujung senja




Senja selalu saja sama. Entah kenapa aku tidak pernah bosan untuk melihatnya bahkan aku selalu merindukannya. Langit jingga mulai bertahta du ujung cakrawala meskipun matahari masih enggan turun untuk beristirahat. Burung-burung beterbangan kembali kesarang sambil berkicau dengan ceria. Begitu indah dan mendamaikan jiwa yang letih setelah berjuang seharian.

Aku duduk bersandar pada pohon mahoni di tepi jalan. Pandanganku tidak sedikitpun lepas dari langit senja di balik gunun merapi yang tinggi menjulang. Ku peluk kedua kakiku. Tidak seperti biasanya. Sore ini senja tidak bisa menenangkan jiwaku yang bergejolak lebih hebat dari gelombang pantai selatan. Aku hanya bisa berharap semoga tidak terjadi tsunami saja.



Dua meter dati tempat aku duduk Candra berdiri bersandar pada pohon mahoni yang lainnya. Dia sepertinya begitu menikmati indahnya langit yang kini berubah warna menjadi jingga. Tidak bisa aku tebak apa yang dia rasakan sedih, marah, kecewa, atau dia justru merasakan kedamaian. Yang aku lihat dia semakin terang. Seperti namanya rembulan tentu akan semakin terang saat senja terah berakhir.

Hampir satu jam kami duduk dalam diam. Aku tidak suka kebisuan seperti ini, tapi aku juga tidak tau harus berkata apa. Banyak yang ingin aku katakan tapi seperti ada yang memekap mulutku agar aku tetap diam. Akhirnya aku memilih menikmati senja sambil sesekali aku melirik Rembulan yang berdiri tenang seperti patung.

“Ini hari terakhir,” kata Candra memecah kesunyian.

“Ya. Memang semua ini akan terjadi, dan waktunya sekarang sudah di tentukan. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi,” kata ku.

Candra menatapku dengan pandangan yang begitu teduh. “Aku akan kembali. Dan jika waktu itu tiba aku akan datang bersama orang tuaku,” kata Candra dengan lembut. Apa yang di katakannya membawaku melayang. Melambung tinggi hingga kelangit ke tujuh. Tapi aku sadar aku harus segera kembali berpijak ke bumi. Tempatku yang seharusnya.

“Jangan berjanji jika tidak bisa menepati. Karena itu pasti akan menyakitkan,” kataku sambil tersenyum.

“Mengapa? Kau tidak percaya padaku? Atau kau tidak ingin akhir yang indah untuk hubungan ini?” tanya Candra penasaran.

“Pernahkah aku meragukanmu? Siapa yang tidak ingin menikah dengan orang yang di cintainya,” ada getaran aneh dalam ucapanku, tapi aku mencoba untuk tetap tenang.

“Lalu kenapa? Kenapa kau berkata begitu” tanya Candra. Aku hanya menjawab dengan senyuman. “Kau tau? Aku mencintaimu. Aku berusa pergi darimu tapi entah kenapa aku selalu kembali padamu,” kata Candra sambil menundukan pandangannya.

Aku bisa melihat kesedihan yang mengoyak hatinya. Kesedihan yang akhir-akhir ini tumbuh di dalam hatinya. Kesedihan yang sama yang ada di dalam hatiku. Kesedihan yang harus aku tutupi untuk dia yang aku cintai. Aku tau dia akan menjadi lebih sedih seandainya mengetahui kesedihan dalam hatiku. Dan aku tidak ingin menambah kepedihan hatinya.

“Haruskah aku menciummu untuk menunjukan kesungguhan cintaku? Tapi itu tidak mungkin, ini bukan adegan dalam sinetron. Dan yang pasti kita belum menjadi mahrom,” candaku. Candra tersenyum kecil tapi itu cukup melegakanku.

“Bisa serius dikit tidak sih? Kau ini selalu saja bisa mengalihkan pembicaraan,” kata Candra sambil mengusap lembut kepalaku yang tertutup jilbab warna orange. Kemudia dia duduk di sampingku. Aku hanya diam. Seperti biasa aku tidak akan bisa melakukan apapun jika ada laki-laki yang membelai kepalaku.

“Jika kau mau, aku bisa melamarmu sekarang. Aku tidak perlu kembali ke Makasar. Pekerjaanku di sini juga sudah mapan,” katanya sambil menatap matahari yang mulai memerah.

“Aku tau. Seorang laki-laki tidak seperti perempuan yang memerlukan walinya untuk menikah. Tapi bagiku restu orang tua itu penting. Aku tidak ingin hubungan kita diawali dengan menyakiti orang yang telah banyak berkorban dalam kehidupan kita.” Aku berharap apa yang aku ucapkan ini bisa membuat dia lebih tenang.

Ada ketakutan terlintas di wajahnya. Aku tersenyum. Aku tidak bisa menyalahkannya untuk itu. Aku menoleh menatapnya, cukup lama sampai akhirnya dia menyadari tatapanku. Dia membalas tatapanku. Candra mamaksakan senyum berkembang di bibir tipisnya.

“Maukah kau berjanji?” tanyaku.

“Janji? Janji apa?” balanya penuh penasaran.

“Jangan setia padaku,” kataku.

“Mengapa? Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” tanya Candra kebingungan. Aku tersenyum.

“ Setelah ini. Kita akan terpisah jauh untuk waktu yang tidak pernah kita ketahui. Dan aku tidak tau apakah kita berdua bisa menjaga hati dan hubungan yang penuh dengan ketidak pastian ini.” Aku diam. Entah kenapa tiba-tiba dadaku terasa sesak sehingga sulit untuk bernafas.

“Berjanjilah jika kau telah menemukan wanita yang layak untukmu kau harus menikah dengan dia. Dan jika hari indah itu tiba kau harus memberitauku,” ada getaran yang kuat dalam kalimat yang aku ucapkan. “Aku akan melakukan hal sama jadi kau tidak perlu kuatir,” kataku. Ku gigit ujung bibirku untuk menahan agar air mataku tidak tumpah.

“Bagaimana bisa. Jika kau yang menikah dahulu aku tidak kwatir. Hal itu akan membuatku sedih tapi aku akan bisa bertahan dan bangkit kembali. Tapi jika aku dulu yang menikah.....,” Candra terdiam dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

“Sudah cukup kau menjagaku selama ini. Aku memang tidak sekuat dan sekokoh karang. Tapi aku ingin kau percaya padaku kalau aku bisa menghadapi semua itu pada saatnya nanti. Aku tidak akan bisa melupakannmu. Tapi aku akan berusha untuk mengiklaskan mu,” aku tidak tau bagai mana aku bisa mengatakan itu semua.

“Aku tidak yakin. Tapi aku akan berusaha untuk memenuhi keinginanmu. Meskipun aku tidak akan menyerah agar kisah kita memiliki akhir yang indah,” kata Candra.

Kami terlalu sibuk dengan perasaan dan pikiran kami masing-masing. Senja semakin merah. Kami menikmati indahnya senja dalam diam. Hingga matahari tenggelam sempurna kami masih berdiam diri.

“Ayo. Magrib sudah tiba nanti kita kehabisan waktu sholat,” kata Candra memecah kesunyian sambil berjalan menuju mobil. Aku bangkit dan berjalan mengikutinya.

Mungkin ini adalah senja terakhir bagi kami berdua. Tapi aku bersyukur telah mengenal dia. Dan aku tidak menyalahkan Allah yang telah mempertemukan dan memisahkan kami. Kehadiran Candra telah mengajariku arti dari hidup ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar