Aku duduk
sendirian pinggir trotoar. Tapi bukan karena aku patah hati atau sedang terserang
virus galau yang belakangan ini marak menjangkit para remaja di bumi Indonesia
tercinta ini. Masak dikit-dikit galau, naksir cowok galau, putus sama pacar
galau, diselingkuhin galau bahkan rela ngiris pergelangan tangan, jangan-jangan
ditinggal pacar ke toilet aja galau. Kalo yang terakir sih hiperbol, bahasa sastranya
lebay, tapi kalo bang Roma pasti bilang terlalu.
Oke, perkenalkan
aku Listya. Aku memnag senang duduk sendiri di sini, karena hanya di sini aku
bisa menikmati langit luas sepuasku. Melihat bintang-bintang meskipun sulit di
cari. Maklum aja ini kota
metropolitan jadi pancaran cahaya bintang-bintang dilangit kalah dengan bintang
yang ada di bumi yang terkenal dengan nama lampu. Lama aku melihat langit,
mencoba menemukan berbagai rasi bintang yang indah namun selalu saja aku gagal
menemukanya.
Ku palingkan mataku, di seberang jalan kulihat
seorang laki-laki. Tidak terlalu tampan sih tapi dia membuatku heran. Maklum
saja jarang ada pejalan kaki yang lewat sini. Biasanya yang lewat Cuma truk
muatan berat yang protes dengan beratnya muatan yang harus digendongnya. Jika
di perhatikan dari langkahnya yang gontai bisa dipastikan kalo dia sedang
terjangkit virus galau. Dimana tidak, masak dia jalan di tengah jalan. Emang
sih jalan di sini sepi tapi kan bis dan truk yang lewat sini seringnya ngebut.
Maklum saja jalan ini emang enak untuk ngebut, jalanya lebar lurus, mulus dan
kalo malam begini sepi. Belum lagi mukanya saja asam lebih asam dari pada asam
sulfat yang biasanya digunakan untuk mengidi aki.
Tiiiinnn!!!!!!!!!!!! Ttttttiiiiiiinnnn!!!!!!!!!
Aku terkejut, sekitar 300 M di belakang laki-kali
itu sebuah bis antar kota melaju dengan kesepatan tinggi. “Mas awas! Ada bis!!!
Mas bis mas! Kalo mau bunuh diri jangan disini!!!” aku berteriak
mengingatkannya tapi dia tia tidak mendengar ku. Bis itu semakin dekat akirnya
aku berlari kearahnya. Bis melaju dengan cepat. Laki-laki itu terbaring di atas
trotoar sedang aku berada di
atasnya. Dia memandangiku dalam-dalam. Ini sangat mirip dengan adegan di
sinetron-sinitron ngak mutu yang tayang
di TV.
Aku segera bangkit duduk di tepi trotoar kembali
memandang langit. Tidak perlu mengatur nafas atau salah tingkah, tak lama kemudia
dia duduk disampingku. Di pandanginya aku dalam-dalam. “Nampa mas? Santai aja
kali aku bukan kuntilanak atau sundel bolong. Ngak percaya? Liat aja
punggungku, pasti tidak ada lubangnya. Oh ya mas, lain kali kalau mau bunuh diri jangan disini ya! Aku ngak mau
tempat ini jadi ramai karena banyak tim forensik yang kesini. Ntar aku ngak bisa bebas melamun disini.
Belum lagi aku satu-satunya saksi mata di sini. Pasti deh aku jadi artis
dadakan di tanya ini-itu sama wartawan dari koran dan TV belum lagi memberi
laporan ke kepolisian. Ribet, mas,” kataku.
Dia hanya tertawa kecil. “Eh jangan salah ya. Aku
tadi bener-bener ngak dengar ada bis
yang mau lewat. Hanya saja aku sedang bingung,” terangnya. tiba-tiba
saja ada angin yang bertiup entah dari mana membawa awan mensung yang kembali
menutupi wajahnya. Makin hancur muka ni orang udak ngak terlalu tampan nih
cemberut juga. Aduh aku jadi tidak tega memilahnya.
Uuhhhhh aku mengkempaskan nafas panjang dan berat.
“Napa mas? Mukanya jadi kusut
begitu? Setelikaan di rumah rusak ya? Ah, aku tau biasanya kalo ada cowok yang
bingung sampe ngak denger klakson bis di belakangnya dan terikan orang pasti
sedang galau. Napa mas, gebetannya suka cowok lain? Baru dipusin ya? Aa ato
coweknya selingkuh sama sahabat? Kaya yang ada di sinetron-sinetron itu,”
kataku jail.
“Enak aja! Ngak level lah aku senewen gini
gara-gara cewek. Ini ni gara-gara uang SPP buat semester ini udah lenyap buat
taktir anak-anak,” katanya sambil tertawa. Aku masih bisa melihat mendung
bergelantungan di mukanya tapi setidaknya tidak segelap tadi.
“Minta lagi aja ma ortunya,” saranku sambil
kembali melihat bintang-bintang.
“Gila lo minta ma ortu?! Pasti natar ditanya emang
uangnya kemana kan udah mama kasih. Trus kalo aku bilang buat traktir anak-anak
bisa bisa gue di gantung di menara eifel. Kalo bilang uangnya hilang mana
mungkin ortu percaya,” katanya. Aku tertawa mendengarnya.
“Makanya jangan sok tajir. Kalo bokek ya bokek aja
jangan sok tratir orang. Kamu sendiri kan yang susah akirnya. Hahaha.
Tapi, sial bener sih lho. Ortu sendiri aja
udah ngak percaya ama lho. Hahahaha. Udah Jujur aja paling ngomelnya sehari-dua
hari setelah itu juga di kasih uang SPP lagi. Eemmm tapi kalo mau digantung di menara Eifel bilang aku ya? Ntar aku yang dokumentasikan
lumayan bisa keluar negeri gratis,” godaku.
“Enak aja lo. Aku yang mati kamu dapat liburan
gratis” jawabnya sabil tertawa.
“hehe biarin aja. Kalo nggak berani minta ya
solusinya Cuma satu. Kamu mesti nyari uang sendiri,” kataku.
“Iya sih tapi nyari dimana?” tanyanya.
“Ya dimana lah itu terserah kamu. Mau nyari di
got, tempat sampah, TPA atau dijalan sah sah aja yang penting ngak ada yang
memiliki uang yang kamu ambil itu,” kataku.
“Yah kalo nyarinya di tempat seperti itu susah
dapatnya,” keluhnya.
“Siapa bilang? Tetanggaku itu nyari uang TPA
setiap hari minimal bisa membawa uang Rp 40.000 tiap sore,” terangku.
“Serius kok bisa?” tanyanya penasaran.
“Ya bĂsalah. Setiap hari dengan bekal keranjang,
topi, master lusuh dan tongkat pengait dia mulung deh di TPA trus sore harinnya
hasilnya dijual ke pengepul. Pulang ke rumah bisa bawa uang buat ngidupin keluarganya?” kataku.
“Jadi tetanggamu itu pemulung?” tanyanya.
“Ya iya lah. Mikir dikit dong!? Hanya orang gila yang buang
uang. Dan lagi emang ada orang yang mau mengobrak-abrik gunung sampah hanya
untuk menyari selembar atau sekeping uang? Kalo ada pasti kamu orangnya,”
kataku. Dia hanya nyegir seperti kuda.
“Jadi intinya hanya ada dua solusi aku harus kerja
atau minta ortu nih?” katanya meminta kepastian dari aku. Malam itu kami ngorol
sampai larit malam.
“Oh. Aku Gilang. Kamu siapa? Dari tadi malah belum
kenalan padahal sudah ngobrol,” tanyanya.
“Listya. Udah sana pulang ntar di cariin ma ortu,”
kataku.
Sejak malam itu dia sering datang kemari menemani
ku melihat bintang-bintang. Tentu
saja sambil ngobrol kesana-kenari. Aku sih senang-senang saja. Selain ada teman
kadang-kadang dapat makanan gratis. Hingga pada akhrnya dia mengatakan kalo dia
mencintaiku. Tidak seperti orang pada umumnya ketika menyatakan cinta. Tidak ada
bunga, tidak ada cincin berlian, tidak ada lilin-lilin yang berkelap kelip.
Yang ada hanya satu kantong plastik kacang rebus dan wedang jahe. Tapi aku
terima cintanya dan akukan tidak mungkin menolah kacang rebus dan wedang jahe
kegemearanku hehehe.
Tapi saat ini aku sedang bingung. Gimana tidak
tanpa ada memo atau surat peringatan besok dia mengajaku sekalian
memperkenalkan aku dengan orang tuanya. Katanya ortunya mau bilang terimkasih
karena Gilang menjadi sedikit lebih jinak sejak bertemu denganku. Aku ingin
menolaknya tapi aku tidak sanggup. Aku hanya bisa kebingngan, kesal, sambil ngomel
menarik-narik bajuku untung saja bajuku masih bagus jadi tidak robek.
“Napa neng? Kayaknya BT baget?” tanya seorang
pemuda asing. Sepertinya dia bukan berasal dari daerah sini atau orang baru
tapi kalo boleh jujur dia tampan juga mirip artis-artis jepang gitu. Karena aku
tidak mengenalnya. Sekedar catatan saja ya, aku hafal betul semua orang yang
tinggal di sekitar sini. Kupandangi dia dalam-dalam menunjukan kecurigaan ku.
Aku haran kenapa dia tidak takut menyapaku.
“Kamu bukan orang sini ya?” tanyaku.
“Aku kebetulan lewat saja. Tapi kamu aneh ya diajak
makan siang sama pacarnya kok malah BT,” katanya. Bagaimana dia bisa tau. Tidak mungkin kebetulan? Dia berani manyapa ku
dan sekarang dia tau aku BT karena diajak makan siang. Tidak salah lagi dia
pasti orang pintar.
“Gimana nggak BT besok kan aku tidak bisa datang.
Aku tidak bisa memolak ajakan Gilang. Tapi kalo aku tidak datang dia pasti kecewa,” keluh ku.
“Apa susahnya sih tinggal temui dia aja seperti
biasanya kalian ketemuan,” sarannya.
“Nggak bisa. Kamu nggak lihat aku apa? Aku sudah kelelahan. Tidak mungkin aku bisa ketemu dia?” kataku.
“hahhahahaha ya salah kamu sendiri sampai kaya
gini emangnya apa yang kamu lakukan?” tanyanya. Aku semakin manyun mendengar
dia menertawakan aku.
“Malah ngledek. Ini gara-gara Gilang sejak bertemu dengan dia aku
sering jadi sering keluar untuk menemui dia. Dan sekarang aku sangat lelah dan
lemah mana mungkin besok aku bisa datang. Aku tau ini salah tapi.....” belum
sempat aku melanjutkan kata-kataku dia sudah memotongnya. “Napa? Kagen dia.
Tidak bisa pisah dengannya.” Aku hanya mengangguh-angguk sepeti burung kutilang
yang bernyanyi.
“Dasar anak muda yang sedang mabuk asamara. Tidak peduli
langit akan runtuh yang penting bisa berduaan. Kamu mau tidak aku bantu? Kalo
kamu mau ntar aku pinjami kekuatan jin yang mengabdi padaku” tanyanya sambil
mengebipkan mata usil.
“Yang bener? Kamu bisa bantu aku? Aku mau yang
penting bisa ketemu Gilang dan ortunya. Tapi bayarannya mahal nggak? Bayarannya
nggak sulitkan?” kataku penuh semangat.
“Gratis tis tis tis. Tapi kamu harus mematuhi
semua peraturannya ok?” tanyanya.
“Peraturannya apa. Kalo ngak sulit pasti aku patuhi,” kataku. Dia
mengeluarkan satu tangkau bunga sedap malam dari dalam tas ranselnya dan
menyerahkan padaku.
“Ketika kamu ingin bertemu dengan dia kamu pegang
bunga sedap malam ini dan ucapkan manta suryo
muncar paningalan katon, sekar arum dalu sirnaaken arusipun. Tapi kamu
hanya bisa menggunakannya selama dua jam tidak lebih. Karena kamu
menggunakannya siang hari setelah waktunya habis kamu harus segera kembali kalo
tidak tubuhmu bisa kebakar.
“Mantranya suryo
muncar paningalan katon, sekar arum dalu sirnaaken arusipun. Mantranya hanya
bertahan dua jam. Eh ini beberan gratis? Kok kamu mau bantu aku sih?” tanyaku.
“Oh kalo alasan aku mau bantu kamu itu sih mudah
saja. Bangsa kalian banyak
membatu ku mencari uang. Jadi aku senang-senang saja bantu kalian. Asalkan
tidak untuk kejahatan saja. Sudah aku mau pergi dulu ada panggilan tugas nih,”
jawab pemuda itu, kemudian dia melangkah pergi meninggalkan aku.
“Ok. Makasih ya. Bye dukun ganteng,” teriakku
semangat ku lambaikan tanganku sambil melompat. Dia hanya melambaikan tangannya
tanpa sempat menoleh.
****
Besoknya pukul sebelas aku pergi menuju danau
tempat kami janjian. Dari sekitar 300 meter didepanku aku melihat Gilang. Dia
ditemani seorang lelaki dan wanita paruh baya. Aku yakin mereka pasti ortu
gilang. Lebih baik aku membaca mantranya disini.
“ suryo
muncar paningalan katon, sekar arum dalu sirnaaken arusipun. Semoga saja
mantranya berhasil kalo tidak bisa bahaya,” kataku. Kemudian aku berjalan
dengan ragu-ragu kearah mereka sambil membayangkan apa yang terjadi jika
mantranya gagal. Tiba-tiba Tiiinnnn Tttttttttiiiiiiiinnnnnnnnnn terdengar
klakson dari arah belakang ku kemudian di susul teriakan “Woi!!! Mbak jalannya
di pnggir dong!! Ganggu orang lain aja!” teriak seorang laki-laki yang agak
badung. Aku tersenyum lebar “Mas bisa lihat aku?” tanyaku ragu-ragu.
“Ya iyalah. Orang segede gitu masak ngak
kelihatan!?” jawabnya. Langsung saja aku melompat kegirangan sambil berteriak, “Yee!
Aku kelihatan! Dia bisa melihat aku.”
Lelaki iu keheranan melihat tingkah ku. “Sayang
cantik-cantik kok gila,” katanya kemudian meninggalkan ku yang masih asik
menari-nari.
Tak lama kemudian aku pergi menghampiri Gilang dan
keluarganya. “Siang Om
tante,” sapaku seramah mungkin.
“Siang. Ini pasti Listya? Aduh cantikanya. Tumbem
Gilang bener milih pacar?” sapa papa gilang dengan ramah.
“Iya pa, ngak Cuma cantik tapi juga sopan dan
manis. Tapi yang penting dia bisa mengubah Gilang menjadi anak yang nurut ma
orang tua,” mama Gilang.
“Bener ma. Sejak Gilang kenal sama kamu dia
berubah total jadi anak yang baik. Kata Dimas yang saru kos ma dia sekarang
Gilang sudah tidak pernah kluyuran lagi. Bahkan dia sudah mulai bertanggung
jawab untuk pengeluarannya sendiri. Yah walaupun hanya kerja di bengkel dan
penghasilannya pas-pasan tapi Om bangga,” kata papa Gilang.
“Iya om. Kalo itu sebenarnya bukan karena saya
tapi, katena teman-temannya yang badung yang suka minta traktiran....,” belum
sempat aku menyelesaikan kata-kataku Gilang sudah menutup mulutku dengan
tangannya. Papa dan Mama Gilang merasa heran melihat sikap anaknya.
“Ngak kok. List emang suka bercanda dan kalau udah
ngobrol sulit di rem Ma,” kata Gilang. Sedangkan aku hanya bisa menginjak kaki
Gilang, dia meringis kesakitan karena aku menggunakan high heals. Orang tua
Gilang hanya tertawa melihat tingkah kami.
Siang itu kami jalan-jalan di tepi danau yang
masih rimbun. Kami mengabaikan sampah yang ada di sana-sini, maklum saja di
masyarakat belum tau bagaimana cara membuang sampah yang benar. Biasalah
masyarakat kita lamban belajar. Tidak percaya? Sejak masik TK guru kita sudah
selalu bilang kalau buang sampah itu ditempat sampah. Hingga SD sampai SMA juga
msih diulang-ulang bahkan tidak jarang kepala sekolah menyampaikannya dalam
upacara, belum lagi ada peringatan “Buang Sampah Pada Tempatnya” yang terpajang
dimana-mana.
Saat matahari mulai tergelincir kami memilih makan
di trestoran terapung di tepi danau. Kami makan sambil menikmati semilir angin
yang berhempus dari tengah danau. Kami asik berbincang-bincang di sela-sela
melahap makanan tiba-tiba saja mama Gilang mencium bau yang aneh.
“Ini bau apa ya? Seperti ada yang gosong?” tanya Mama Gilang.
“Iya nih. Seperti daging bakar. Sepertinya berasal
dari sekitar sini,” tambah Papa Gilang sambil mencari sumber bau gosong.
Langsung saja aku melihat ke dua tanganku. Aku
langsung paknik melihat tanganku yang mulai terbakar. Aku bingung harus
melakukan apa. Aku tidak mau berubah di sini, bisa-bisa Gilang marah dan
membenci aku. Sementara Gilang dan Ortunya masih sibuk mencari sumber bau
tiba-tiba aku menggebrak meja dan mereka semua terkejut.
“Maaf Om, Tante. Saya harus segera pergi ada
urusan,” kataku sambil melangkah pergi.
“Eh. List jalannya sebelah sana,” kata Gilang
sambil menunjukan arah yang berlawanan dengan arah yang aku tuju. Aku hanya
tersenyum malu kemudian berlari meninggalkan mereka sambil berharap semoga
Mereka tidak marah pada ku.
Bersambung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar