Selasa, 07 Mei 2013

CINTA TAPI BEDA

(bagian 1)

Aku duduk sendirian pinggir trotoar. Tapi bukan karena aku patah hati atau sedang terserang virus galau yang belakangan ini marak menjangkit para remaja di bumi Indonesia tercinta ini. Masak dikit-dikit galau, naksir cowok galau, putus sama pacar galau, diselingkuhin galau bahkan rela ngiris pergelangan tangan, jangan-jangan ditinggal pacar ke toilet aja galau. Kalo yang terakir sih hiperbol, bahasa sastranya lebay, tapi kalo bang Roma pasti bilang terlalu.

Oke, perkenalkan aku Listya. Aku memnag senang duduk sendiri di sini, karena hanya di sini aku bisa menikmati langit luas sepuasku. Melihat bintang-bintang meskipun sulit di cari. Maklum aja ini kota metropolitan jadi pancaran cahaya bintang-bintang dilangit kalah dengan bintang yang ada di bumi yang terkenal dengan nama lampu. Lama aku melihat langit, mencoba menemukan berbagai rasi bintang yang indah namun selalu saja aku gagal menemukanya.
Ku palingkan mataku, di seberang jalan kulihat seorang laki-laki. Tidak terlalu tampan sih tapi dia membuatku heran. Maklum saja jarang ada pejalan kaki yang lewat sini. Biasanya yang lewat Cuma truk muatan berat yang protes dengan beratnya muatan yang harus digendongnya. Jika di perhatikan dari langkahnya yang gontai bisa dipastikan kalo dia sedang terjangkit virus galau. Dimana tidak, masak dia jalan di tengah jalan. Emang sih jalan di sini sepi tapi kan bis dan truk yang lewat sini seringnya ngebut. Maklum saja jalan ini emang enak untuk ngebut, jalanya lebar lurus, mulus dan kalo malam begini sepi. Belum lagi mukanya saja asam lebih asam dari pada asam sulfat yang biasanya digunakan untuk mengidi aki.
Tiiiinnn!!!!!!!!!!!! Ttttttiiiiiiinnnn!!!!!!!!!
Aku terkejut, sekitar 300 M di belakang laki-kali itu sebuah bis antar kota melaju dengan kesepatan tinggi. “Mas awas! Ada bis!!! Mas bis mas! Kalo mau bunuh diri jangan disini!!!” aku berteriak mengingatkannya tapi dia tia tidak mendengar ku. Bis itu semakin dekat akirnya aku berlari kearahnya. Bis melaju dengan cepat. Laki-laki itu terbaring di atas trotoar sedang aku berada di atasnya. Dia memandangiku dalam-dalam. Ini sangat mirip dengan adegan di sinetron-sinitron ngak mutu yang  tayang di TV.
Aku segera bangkit duduk di tepi trotoar kembali memandang langit. Tidak perlu mengatur nafas atau salah tingkah, tak lama kemudia dia duduk disampingku. Di pandanginya aku dalam-dalam. “Nampa mas? Santai aja kali aku bukan kuntilanak atau sundel bolong. Ngak percaya? Liat aja punggungku, pasti tidak ada lubangnya. Oh ya mas, lain kali kalau mau bunuh diri jangan disini ya! Aku ngak mau tempat ini jadi ramai karena banyak tim forensik yang kesini. Ntar aku ngak bisa bebas melamun disini. Belum lagi aku satu-satunya saksi mata di sini. Pasti deh aku jadi artis dadakan di tanya ini-itu sama wartawan dari koran dan TV belum lagi memberi laporan ke kepolisian. Ribet, mas,” kataku.
Dia hanya tertawa kecil. “Eh jangan salah ya. Aku tadi bener-bener ngak dengar ada bis  yang mau lewat. Hanya saja aku sedang bingung,” terangnya. tiba-tiba saja ada angin yang bertiup entah dari mana membawa awan mensung yang kembali menutupi wajahnya. Makin hancur muka ni orang udak ngak terlalu tampan nih cemberut juga. Aduh aku jadi tidak tega memilahnya.
Uuhhhhh aku mengkempaskan nafas panjang dan berat. “Napa mas? Mukanya jadi kusut begitu? Setelikaan di rumah rusak ya? Ah, aku tau biasanya kalo ada cowok yang bingung sampe ngak denger klakson bis di belakangnya dan terikan orang pasti sedang galau. Napa mas, gebetannya suka cowok lain? Baru dipusin ya? Aa ato coweknya selingkuh sama sahabat? Kaya yang ada di sinetron-sinetron itu,” kataku jail.
“Enak aja! Ngak level lah aku senewen gini gara-gara cewek. Ini ni gara-gara uang SPP buat semester ini udah lenyap buat taktir anak-anak,” katanya sambil tertawa. Aku masih bisa melihat mendung bergelantungan di mukanya tapi setidaknya tidak segelap tadi.
“Minta lagi aja ma ortunya,” saranku sambil kembali melihat bintang-bintang.
“Gila lo minta ma ortu?! Pasti natar ditanya emang uangnya kemana kan udah mama kasih. Trus kalo aku bilang buat traktir anak-anak bisa bisa gue di gantung di menara eifel. Kalo bilang uangnya hilang mana mungkin ortu percaya,” katanya. Aku tertawa mendengarnya.
“Makanya jangan sok tajir. Kalo bokek ya bokek aja jangan sok tratir orang. Kamu sendiri kan yang susah akirnya. Hahaha. Tapi,  sial bener sih lho. Ortu sendiri aja udah ngak percaya ama lho. Hahahaha. Udah Jujur aja paling ngomelnya sehari-dua hari setelah itu juga di kasih uang SPP lagi. Eemmm tapi kalo mau digantung di menara Eifel  bilang aku ya? Ntar aku yang dokumentasikan lumayan bisa keluar negeri gratis,” godaku.
“Enak aja lo. Aku yang mati kamu dapat liburan gratis” jawabnya sabil tertawa.
“hehe biarin aja. Kalo nggak berani minta ya solusinya Cuma satu. Kamu mesti nyari uang sendiri,” kataku.
“Iya sih tapi nyari dimana?” tanyanya.
“Ya dimana lah itu terserah kamu. Mau nyari di got, tempat sampah, TPA atau dijalan sah sah aja yang penting ngak ada yang memiliki uang yang kamu ambil itu,” kataku.
“Yah kalo nyarinya di tempat seperti itu susah dapatnya,” keluhnya.
“Siapa bilang? Tetanggaku itu nyari uang TPA setiap hari minimal bisa membawa uang Rp 40.000 tiap sore,” terangku.
“Serius kok bisa?” tanyanya penasaran.
“Ya bĂ­salah. Setiap hari dengan bekal keranjang, topi, master lusuh dan tongkat pengait dia mulung deh di TPA trus sore harinnya hasilnya dijual ke pengepul. Pulang ke rumah bisa bawa uang buat ngidupin keluarganya?” kataku.
“Jadi tetanggamu itu pemulung?” tanyanya.
“Ya iya lah. Mikir dikit dong!? Hanya orang gila yang buang uang. Dan lagi emang ada orang yang mau mengobrak-abrik gunung sampah hanya untuk menyari selembar atau sekeping uang? Kalo ada pasti kamu orangnya,” kataku. Dia hanya nyegir seperti kuda.
“Jadi intinya hanya ada dua solusi aku harus kerja atau minta ortu nih?” katanya meminta kepastian dari aku. Malam itu kami ngorol sampai larit malam.
“Oh. Aku Gilang. Kamu siapa? Dari tadi malah belum kenalan padahal sudah ngobrol,” tanyanya.
“Listya. Udah sana pulang ntar di cariin ma ortu,” kataku.
Sejak malam itu dia sering datang kemari menemani ku melihat bintang-bintang. Tentu saja sambil ngobrol kesana-kenari. Aku sih senang-senang saja. Selain ada teman kadang-kadang dapat makanan gratis. Hingga pada akhrnya dia mengatakan kalo dia mencintaiku. Tidak seperti orang pada umumnya ketika menyatakan cinta. Tidak ada bunga, tidak ada cincin berlian, tidak ada lilin-lilin yang berkelap kelip. Yang ada hanya satu kantong plastik kacang rebus dan wedang jahe. Tapi aku terima cintanya dan akukan tidak mungkin menolah kacang rebus dan wedang jahe kegemearanku hehehe.
Tapi saat ini aku sedang bingung. Gimana tidak tanpa ada memo atau surat peringatan besok dia mengajaku sekalian memperkenalkan aku dengan orang tuanya. Katanya ortunya mau bilang terimkasih karena Gilang menjadi sedikit lebih jinak sejak bertemu denganku. Aku ingin menolaknya tapi aku tidak sanggup. Aku hanya bisa kebingngan, kesal, sambil ngomel menarik-narik bajuku untung saja bajuku masih bagus jadi tidak robek.
“Napa neng? Kayaknya BT baget?” tanya seorang pemuda asing. Sepertinya dia bukan berasal dari daerah sini atau orang baru tapi kalo boleh jujur dia tampan juga mirip artis-artis jepang gitu. Karena aku tidak mengenalnya. Sekedar catatan saja ya, aku hafal betul semua orang yang tinggal di sekitar sini. Kupandangi dia dalam-dalam menunjukan kecurigaan ku. Aku haran kenapa dia tidak takut menyapaku.
“Kamu bukan orang sini ya?” tanyaku.
“Aku kebetulan lewat saja. Tapi kamu aneh ya diajak makan siang sama pacarnya kok malah BT,” katanya. Bagaimana dia bisa tau. Tidak mungkin kebetulan? Dia berani manyapa ku dan sekarang dia tau aku BT karena diajak makan siang. Tidak salah lagi dia pasti orang pintar.
“Gimana nggak BT besok kan aku tidak bisa datang. Aku tidak bisa memolak ajakan Gilang. Tapi kalo aku tidak datang dia pasti kecewa,” keluh ku.
“Apa susahnya sih tinggal temui dia aja seperti biasanya kalian ketemuan,” sarannya.
“Nggak bisa. Kamu nggak lihat aku apa? Aku sudah kelelahan. Tidak mungkin aku bisa ketemu dia?” kataku.
“hahhahahaha ya salah kamu sendiri sampai kaya gini emangnya apa yang kamu lakukan?” tanyanya. Aku semakin manyun mendengar dia menertawakan aku.
“Malah ngledek. Ini gara-gara Gilang sejak bertemu dengan dia aku sering jadi sering keluar untuk menemui dia. Dan sekarang aku sangat lelah dan lemah mana mungkin besok aku bisa datang. Aku tau ini salah tapi.....” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku dia sudah memotongnya. “Napa? Kagen dia. Tidak bisa pisah dengannya.” Aku hanya mengangguh-angguk sepeti burung kutilang yang bernyanyi.
“Dasar anak muda yang sedang mabuk asamara. Tidak peduli langit akan runtuh yang penting bisa berduaan. Kamu mau tidak aku bantu? Kalo kamu mau ntar aku pinjami kekuatan jin yang mengabdi padaku” tanyanya sambil mengebipkan mata usil.
“Yang bener? Kamu bisa bantu aku? Aku mau yang penting bisa ketemu Gilang dan ortunya. Tapi bayarannya mahal nggak? Bayarannya nggak sulitkan?” kataku penuh semangat.
“Gratis tis tis tis. Tapi kamu harus mematuhi semua peraturannya ok?” tanyanya.
“Peraturannya apa. Kalo ngak sulit pasti aku patuhi,” kataku. Dia mengeluarkan satu tangkau bunga sedap malam dari dalam tas ranselnya dan menyerahkan padaku.
“Ketika kamu ingin bertemu dengan dia kamu pegang bunga sedap malam ini dan ucapkan manta suryo muncar paningalan katon, sekar arum dalu sirnaaken arusipun. Tapi kamu hanya bisa menggunakannya selama dua jam tidak lebih. Karena kamu menggunakannya siang hari setelah waktunya habis kamu harus segera kembali kalo tidak tubuhmu bisa kebakar.
“Mantranya suryo muncar paningalan katon, sekar arum dalu sirnaaken arusipun. Mantranya hanya bertahan dua jam. Eh ini beberan gratis? Kok kamu mau bantu aku sih?” tanyaku.
“Oh kalo alasan aku mau bantu kamu itu sih mudah saja. Bangsa kalian banyak membatu ku mencari uang. Jadi aku senang-senang saja bantu kalian. Asalkan tidak untuk kejahatan saja. Sudah aku mau pergi dulu ada panggilan tugas nih,” jawab pemuda itu, kemudian dia melangkah pergi meninggalkan aku.
“Ok. Makasih ya. Bye dukun ganteng,” teriakku semangat ku lambaikan tanganku sambil melompat. Dia hanya melambaikan tangannya tanpa sempat menoleh.
****
Besoknya pukul sebelas aku pergi menuju danau tempat kami janjian. Dari sekitar 300 meter didepanku aku melihat Gilang. Dia ditemani seorang lelaki dan wanita paruh baya. Aku yakin mereka pasti ortu gilang. Lebih baik aku membaca mantranya disini.
suryo muncar paningalan katon, sekar arum dalu sirnaaken arusipun. Semoga saja mantranya berhasil kalo tidak bisa bahaya,” kataku. Kemudian aku berjalan dengan ragu-ragu kearah mereka sambil membayangkan apa yang terjadi jika mantranya gagal. Tiba-tiba Tiiinnnn Tttttttttiiiiiiiinnnnnnnnnn terdengar klakson dari arah belakang ku kemudian di susul teriakan “Woi!!! Mbak jalannya di pnggir dong!! Ganggu orang lain aja!” teriak seorang laki-laki yang agak badung. Aku tersenyum lebar “Mas bisa lihat aku?” tanyaku ragu-ragu.
“Ya iyalah. Orang segede gitu masak ngak kelihatan!?” jawabnya. Langsung saja aku melompat kegirangan sambil berteriak, “Yee! Aku kelihatan! Dia bisa melihat aku.”
Lelaki iu keheranan melihat tingkah ku. “Sayang cantik-cantik kok gila,” katanya kemudian meninggalkan ku yang masih asik menari-nari.
Tak lama kemudian aku pergi menghampiri Gilang dan keluarganya. “Siang Om tante,” sapaku seramah mungkin.
“Siang. Ini pasti Listya? Aduh cantikanya. Tumbem Gilang bener milih pacar?” sapa papa gilang dengan ramah.
“Iya pa, ngak Cuma cantik tapi juga sopan dan manis. Tapi yang penting dia bisa mengubah Gilang menjadi anak yang nurut ma orang tua,” mama Gilang.
“Bener ma. Sejak Gilang kenal sama kamu dia berubah total jadi anak yang baik. Kata Dimas yang saru kos ma dia sekarang Gilang sudah tidak pernah kluyuran lagi. Bahkan dia sudah mulai bertanggung jawab untuk pengeluarannya sendiri. Yah walaupun hanya kerja di bengkel dan penghasilannya pas-pasan tapi Om bangga,” kata papa Gilang.
“Iya om. Kalo itu sebenarnya bukan karena saya tapi, katena teman-temannya yang badung yang suka minta traktiran....,” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku Gilang sudah menutup mulutku dengan tangannya. Papa dan Mama Gilang merasa heran melihat sikap anaknya.
“Ngak kok. List emang suka bercanda dan kalau udah ngobrol sulit di rem Ma,” kata Gilang. Sedangkan aku hanya bisa menginjak kaki Gilang, dia meringis kesakitan karena aku menggunakan high heals. Orang tua Gilang hanya tertawa melihat tingkah kami.
Siang itu kami jalan-jalan di tepi danau yang masih rimbun. Kami mengabaikan sampah yang ada di sana-sini, maklum saja di masyarakat belum tau bagaimana cara membuang sampah yang benar. Biasalah masyarakat kita lamban belajar. Tidak percaya? Sejak masik TK guru kita sudah selalu bilang kalau buang sampah itu ditempat sampah. Hingga SD sampai SMA juga msih diulang-ulang bahkan tidak jarang kepala sekolah menyampaikannya dalam upacara, belum lagi ada peringatan “Buang Sampah Pada Tempatnya” yang terpajang dimana-mana.
Saat matahari mulai tergelincir kami memilih makan di trestoran terapung di tepi danau. Kami makan sambil menikmati semilir angin yang berhempus dari tengah danau. Kami asik berbincang-bincang di sela-sela melahap makanan tiba-tiba saja mama Gilang mencium bau yang aneh.
“Ini bau apa ya? Seperti ada yang gosong?” tanya Mama Gilang.
“Iya nih. Seperti daging bakar. Sepertinya berasal dari sekitar sini,” tambah Papa Gilang sambil mencari sumber bau gosong.
Langsung saja aku melihat ke dua tanganku. Aku langsung paknik melihat tanganku yang mulai terbakar. Aku bingung harus melakukan apa. Aku tidak mau berubah di sini, bisa-bisa Gilang marah dan membenci aku. Sementara Gilang dan Ortunya masih sibuk mencari sumber bau tiba-tiba aku menggebrak meja dan mereka semua terkejut.
“Maaf Om, Tante. Saya harus segera pergi ada urusan,” kataku sambil melangkah pergi.
“Eh. List jalannya sebelah sana,” kata Gilang sambil menunjukan arah yang berlawanan dengan arah yang aku tuju. Aku hanya tersenyum malu kemudian berlari meninggalkan mereka sambil berharap semoga Mereka tidak marah pada ku.

Bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar