Aku duduk seorang diri di ruang
Arjuna yang berada di kawasan Bharatayuda resort. Ruangan ini sangat ramai tapi
aku tidak peduli. Sepiring steak yang sudah terpotong-potong, segelas jus
alpukat dan segelas es krim coklat yang dihiasi dengan selai stroberi sudah
terhidang di meja. Tapi tak segera aku makan makanan yang sangat menggoda. Aku
justru sibuk dengan buku Alogaritma dasar, selembar kertas HVS dan pensil
mekanik murahan kesayanganku. Hanya sekali aku aku mengambil potongan steak ku
tanpa memperhatikannya.
Sesekali aku mengaruk-garuk
kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Kemudian melanjutkan mengerjakan
soal-soal yang luar biasa sulitnya. Ku coret beberapa baris tulisanku dengan
kasar. Aku sendiri sudah lupa berapa kali aku mecoret pekerjaanku dengan kasar.
“Awas ntar pensilnya marah lho,”
sapa orang tak dikenal yang entah sejak kapan duduk di depanku. Ingin aku
memakinya karena menggangguku, tapi di lehernya tergantung tanda pengenal
panitia penyelenggara jadi aku hanya mememaksakan bibirku untuk tersenyum.
“Ya. Kalo marah buang aja tinggal beli lagi. Dua ribu limaratus udah dapat
kok,” jawabku sekenanya. Dia hanya tersenyum kemudian membalik bukuku untuk
melihat judulnya. “Mahasiswa sementer 1
FK ATI. Ini tugas buat besok kamis. Dosen pengampunya galaknya minta
ampun tapi tampan. Iya kan?” tanyanya.
“Tau dari buku ini, atau Kamu emang cenayang?” jawabku sekenanya. Dia malah
tertawa bahkan hampir saja tersendak kapucino yang diminumnya. Aku pun tersenyum kali ini tidak ada
paksaan.
“Ngak lah. Berani sumpah aku manusia normal. Bahkan
aku rela tidak bisa hamil dan melahirkan kalo aku bohong,” katanya cengengesan.
“Ya iyah lah. Tampa dikutuk pun kamu tidak mungkin bisa hamil atau
melahirkan. Kalo kamu hamil itu namanya keajaiban dunia. Bisa juga tidak sih.
Kalo kami sebenarnya perempuan trus operasi kelamin hahaha,” kataku sambil
tertawa.
“ Ya enggak lah. Gue itu cowok tulen. Makanya aku rela tidak bisa hamil. Nanang,”
katanya sambil menglurkan tangannya mengajak berkenalan.
“Rista,” jawabku sambil membelas uluran tangannya. Kemudian aku kembali
mengambil pensil untuk mengerjakan soal alogaritmaku.
“Udahan dulu napa ngerjainnya. Ngak sayang apa sama steaknya, dan itu es krimnya
udah mulai protes tuh,” katanya.
“Iya mas Nanang yang sok perhatian tapi nanti aja,” jawabku.
“Sekarang aja,” katanya. Kali ini sambil merebut pensil dari genggamanku. Aku menatapnya sambil bengong. Ternyata kalo diperhatikan dia cakep juga
ya, pikirku. Dia meletakan garbu di tangan kanan ku. “Jangan cuma bengong.
Makan tu steak dan es krimnya,” kayanya.
Berlahan aku memakan steak yang sudah dingin. Hanya butuh waktu lima belas
menit semua steak sudah berpindah kedalam perutku. Sedangkan es sudah ludes
sedari tadi. Aku meminum jus alpukad hingga isinya masih penuh. Ku lirik jam tanganku
jarum pendek berada diantara angka dua belas dan satu sedangkan jarum panjang
bertengger diatas angka empat. Masih empat puluh menit sebelum acara kembali
dilanjutkan.
“Aneh? Kamu sadar tidak sih?” kata Nanang sambil melirik ke seluruh
ruangan. “Kamu itu peserta simposium termuda. Dan lebih konyolnya lagi kamu
sendirian seperti anak hilang.”
“Emang tidak boleh anak semester satu ikut?” tanyaku.
“Bukannya gitu. Aku mikir aja. Emang otak kamu yang belum terlalu
berkembang udah bisa nangkep apa ama yang di seminarkan. Dan lagi kamu mahasiswa FK kan singkatan dari fakultas
komputer bukan fakultas kedokteran. Jadi ngak nyambung aja,” goda Nanang.
“Enak aja otak ku ini udah berkembang sempurna, malah sangat baik. Buktinya
aku bisa masuk Prodi Ilmu Komputer Fakultas Komputer Akademi Teknik Islam. Prodi Ilmu komputer terbaik no 3 di
Indonesia,” Jawaku berbangga hati.
“Yah. Abis komu itu aneh. Kamu mahasiswa tingkat 1 Teknik, dari ilmu
Komputer.
Ikut acara simposium yang target audiensnya para Doktor, dokter spesialis,
yah kalo dokter umum ada yang ikut pasti dia pengen kuliah S2 atau ambil
spesialis kalau tidak pasti dipaksa sama rumah sakit tempat dia bekerja. Atau
jangan-jangan kamu kamu relawan pemerhati HIV/ AIDS dan ODHA?” Kata dia.
Aku diam sejenak. Dia memperhatikan aku dia melihat perubahan ekspresiku
yang seperti langit mendung yang siap menumpahkan badai di dumi ini. tiba-tiba “DOORR!!!” dia
mengagetkan aku. Aku hanya tersenyum kecut.
“Aku penderita,” kataku pelan sekali tanpa ekspresi.
“Ooooo,” Nanang berOoo ria sambil melanjutkan makan nasi gorengnya. Aku
bisa melihat dia merasa bersalah menanyakan pertanyaannya.
“Oo? Cuma itu,” tanyaku penasaran.
“Trus harus apa? Kamu ingin aku nangis trus guling-guling. Kalo iya ntar ya kalo udah sampe kos. Malukan
kalo dilihat orang? Masak cowok keren kaya aku nangis di restoran gini. Ntar
kalo dikirain kamu mutusin aku gimana? Kamu juga yang repot kan?” candanya. Lalu kami tertawa bersama. Cowok aneh pikirku. Aku tau dia ingin
menghiburku dengan cara yang berbeda.
“Aneh. Kok malah ber oo ria sih?Biasanya orang pasti kabur. Asal tau aja
ya, aku harus pindah sekolah 3 kali dalam setahun karena ketahuan menderita
HIV. Untung aja ortu ku ngah ngusir aku. Walaupun penyakit ini menjadi top
secret yang sama pentingnya dengan rahasia militer Negara,” kataku.
“Yah. Kan beda. Akukan sarjana kedokteran. Aku udah coas hampir 25 bulan
dan tinggal tiga mata kuliah lagi jadi dokter ya harus beda dong nanggapin
kasus yang seperti ini,” katanya sambil membanggakan dirinya sambil cengengesan.
“Ngak jamin orang yang mengerti kesehatan memperlakukan kami seperti yang
seharusnya. Di rumah sakit misalnya. Kalo kami dirawat tidak jarang kami
mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Mereka sering sekali memandang kami
seolah-olah kami itu menjijikan,” kataku.
Dia hanya diam, berusaha mengerti apa yang aku rasakan.
“Kalo boleh tau dapat dai mana?” tanyanya. Aku hanya melihatnya sekilas
kemudia menunduk sambil berkata “Tranfusi darah.”
“Sesuai perkiraan.” katanya. Aku melihat dia penuh tanda tanya. Kemudia dia
melanjutkan ucapannya, “Kamu itu dari awal udah kelihatan polos sekali. Bahkan
minum minuman bersoda saja tidak mau. Kenapa? Mau tau aku tau darimana? Hanya
kamu yang menolak softdrink yang dibagikan sama panitia. Pasti dapatnya kalo
nggak bonus dari tranfusi darah pasti warisan.”
“Jadi kamu menuduh orang tuaku. Asal kamu tau ya mereka adalah orang tua
terbaik yang pernah ada. Pokoknya mereka itu tidak ada tandingannya,” potongku.
“Eh kalo ada pak ustad kamu pasti dimarahi,” kata Nanang.
“Kok bisa?” kataku penasaran.
“Ya iyalah. Orang kamunya
su’udzon gitu ma aku,” katanya.
“Eh enak aja kamu dulu yang mulai nuduh yang enggak-anggak tentang orang
tuaku,” kataku tidak mau kalah.
“Siapa bilang aku nuduh yang engak-enggak ma ortu kamu. Makanya kalo ada
orang orang ngomong di dengarin dulu jangan asal nyela. Bisa saja kan orang tua
kamu dapat warisan juga dari kakek atau nenek kamu. Eh ternyata mereka juga
mendapatkan warisan yang sama,” katanya sambil cegegesan.
“Trus sekarang kamu nuduh nenek sama kakek buyutku orang tidak benar,”
kataku menahan emosi.
“Enggak. Siapa tau aja nenek buyut kamu itu dukun beranak,” katanya tetap
santai.
“Apa hubungannya?” kataku pelan.
“Hubungannya? Aku kasih tahu ya. Jaman dahulu ketika nenek buyut kamu masih
muda kan nggak ada standar yang baku pada persalinan. Siapa tau aja dia
menolong penderita HIV/ AIDS. Trus pas ingin memotong tali pusarnya eh ternyata
jarinya ikut kepotong. Setelah itu resmilah virus jenius itu memperoleh tempat
tinggal baru,” katanya sambil meneguk capucino yang sudah dingin. Aku hanya
tersenyum.
Aku belum pernah bertemu degan orang seperti ini. Ada perasaan kagum yang
muncul salam diriku. Gimana tidak dia begitu santai menghadapi apa yang ada di
depannya bahkan dia masih sempat membuat lelucon tentang penyakit yang begitu
menjijikan seperti ini.
Seandainya semuaorang seperti dia. Ah itu
tidak mungkin. Seandainya saja aku bertemu dia lebih awal pasti aku bisa lebih
mudah menerima semua ini, pikirku. Sisa istirahat itu kami habiskan untuk membicarakan banyak hal
tapi lebih banyak untuk mengomentari hal-hal yang tidak bermutu. Seperti kenapa
celemek para waiter dan waitress hanya sebatas pinggang ke bawah, padahal kalau
ketumpahan makanan kan kemungkinannya baju buka rok atau celana mereka.
******
21.43 dihari yang sama
Aku berdiri sendiri sambil celingukan di depan Bharatayuda resort.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti didepanku. Ku acuhkan saja. Lelaki yang
mengendarai sepeda motor itu melepas helmnya. Ternyata mas Nanang yang
menaikinya.
“Hai. Belum dijemput? Rumahnya
mana? Aku antar yuk?” katanya.
“Nggak usah mas. Tadi udah minta jemput. Mungkin kena macet,” kataku.
“Eh tapi tidak baik lho anak perembuan masih dijalanan malam-malam begini,”
kata Nanang.
“Enggak baik juga anak perempuan ikut orang yang tidak dikenal udah malam
pula. Mendingan disini kalo ada apa-apa tinggal teriak pasti ditolong satpam,”
candaku.
“Tapi sekarang Satpam nggak jaminan baik lho. Ya udah deh kalo gitu aku
tungguin sampai yang jemput datang,” katanya. Aku senang ada dia di sini
setidaknya aku tidak seperti anak hilang. Tidak ada percakapan lagi kami berdua
membisu sambil menunggu sopir yang menjemputku. Untunglah hanya sepuluh menit.
Setelah mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal aku segera masuk kedalam
mobil dan melaju menuju rumah.
Baru juga tiga kilometer mobil melaju HP-ku berdering. Tanda pesan masuk
berkedip-kedip. Ku buka pesan tersebut, ternyata dari mas Nanang. Pesan itu
cukup panjang
Pengirim:
Nanang jail
Pesan:
Kita tidak akan tau rencana Allah untuk hidup kita. Meskipun tidak sesuai
dengan harapan kita. Kita harus tetap yakin bahwa itu yang terbaik bagi kita. Ini dalah pertemuan pertama kita. Mungkin
juga ini pertemuan terakhir kita. Mungkin memang virus itu terlalu cerdas atau
bahkan terlalu jenius untuk ditakluknan. Mungkin memeng kamu harus hidup
selamanya bersama virus itu. Atau mungkin kamu akan segera meninggal karena virus yang tidak tau
terimakasih. Tapi aku ingin mengatakan sesuatu yang dulu pernah dikatakan oleh
seseorang yang mengalami nasip yang sama seperti kamu.
“Tidak penting berapa lama aku bisa hidup. Tapi yang terpenting adalah
bagaimana aku akan hidup”
Jika kau tau bahwa ini yang terbaik bagi dirimu, kamu pasti bisa melalui
ini dengan mudah dan bahagia. Tidak hanya untuk dirimu tapi kau juga akan bisa
menjadi sumber kebahagian bagi orang lain.
Pusat pesan:
+62XXXXXX
Dikirim:
24 Agustus 2004
22.17
Air mataku menetes membaca pesan ini. Aku tidak atau kenapa. Aku hanya tau
apa yang dia katakan itu benar. Dan aku satut lepada siapapun orang yang
bernasip sama denganku itu. Dia benar tidak seharusnya aku terlalu hanyut dan
meratapi nasipku. Mulai Semarang aku akan berusaha menjadi cahaya kebahagian
bagi orang-arang yang aku cintai dan mereka yang mencintauku.
Dan untuk mu, mas Nanang. Mungkin benar pertemuai kita ini adalah yang
pertama dan yang terakir. Tapi aku yakin Allah mengirimmu kebumi ini untukku
meskipun hanya untuk sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar