Sabtu, 15 Juni 2013

Bukan Berapa Lama tapiBagaimana Aku Hidup


Aku duduk seorang diri di ruang Arjuna yang berada di kawasan Bharatayuda resort. Ruangan ini sangat ramai tapi aku tidak peduli. Sepiring steak yang sudah terpotong-potong, segelas jus alpukat dan segelas es krim coklat yang dihiasi dengan selai stroberi sudah terhidang di meja. Tapi tak segera aku makan makanan yang sangat menggoda. Aku justru sibuk dengan buku Alogaritma dasar, selembar kertas HVS dan pensil mekanik murahan kesayanganku. Hanya sekali aku aku mengambil potongan steak ku tanpa memperhatikannya.

Sesekali aku mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Kemudian melanjutkan mengerjakan soal-soal yang luar biasa sulitnya. Ku coret beberapa baris tulisanku dengan kasar. Aku sendiri sudah lupa berapa kali aku mecoret pekerjaanku dengan kasar.
“Awas ntar pensilnya marah lho,” sapa orang tak dikenal yang entah sejak kapan duduk di depanku. Ingin aku memakinya karena menggangguku, tapi di lehernya tergantung tanda pengenal panitia penyelenggara jadi aku hanya mememaksakan bibirku untuk tersenyum.
“Ya. Kalo marah buang aja tinggal beli lagi. Dua ribu limaratus udah dapat kok,” jawabku sekenanya. Dia hanya tersenyum kemudian membalik bukuku untuk melihat judulnya. “Mahasiswa sementer 1  FK ATI. Ini tugas buat besok kamis. Dosen pengampunya galaknya minta ampun tapi tampan. Iya kan?” tanyanya.
“Tau dari buku ini, atau Kamu emang cenayang?” jawabku sekenanya. Dia malah tertawa bahkan hampir saja tersendak kapucino yang diminumnya. Aku pun tersenyum kali ini tidak ada paksaan.
“Ngak lah. Berani sumpah aku manusia normal. Bahkan aku rela tidak bisa hamil dan melahirkan kalo aku bohong,” katanya cengengesan.
“Ya iyah lah. Tampa dikutuk pun kamu tidak mungkin bisa hamil atau melahirkan. Kalo kamu hamil itu namanya keajaiban dunia. Bisa juga tidak sih. Kalo kami sebenarnya perempuan trus operasi kelamin hahaha,” kataku sambil tertawa.
“ Ya enggak lah. Gue itu cowok tulen. Makanya aku rela tidak bisa hamil. Nanang,” katanya sambil menglurkan tangannya mengajak berkenalan.
“Rista,” jawabku sambil membelas uluran tangannya. Kemudian aku kembali mengambil pensil untuk mengerjakan soal alogaritmaku.
“Udahan dulu napa ngerjainnya. Ngak sayang apa sama steaknya, dan itu es krimnya udah mulai protes tuh,” katanya.
“Iya mas Nanang yang sok perhatian tapi nanti aja,” jawabku.
“Sekarang aja,” katanya. Kali ini sambil merebut pensil dari genggamanku. Aku menatapnya sambil bengong. Ternyata kalo diperhatikan dia cakep juga ya, pikirku. Dia meletakan garbu di tangan kanan ku. “Jangan cuma bengong. Makan tu steak dan es krimnya,” kayanya.
Berlahan aku memakan steak yang sudah dingin. Hanya butuh waktu lima belas menit semua steak sudah berpindah kedalam perutku. Sedangkan es sudah ludes sedari tadi. Aku meminum jus alpukad hingga isinya masih penuh. Ku lirik jam tanganku jarum pendek berada diantara angka dua belas dan satu sedangkan jarum panjang bertengger diatas angka empat. Masih empat puluh menit sebelum acara kembali dilanjutkan.
“Aneh? Kamu sadar tidak sih?” kata Nanang sambil melirik ke seluruh ruangan. “Kamu itu peserta simposium termuda. Dan lebih konyolnya lagi kamu sendirian seperti anak hilang.”
“Emang tidak boleh anak semester satu ikut?” tanyaku.
“Bukannya gitu. Aku mikir aja. Emang otak kamu yang belum terlalu berkembang udah bisa nangkep apa ama yang di seminarkan. Dan lagi kamu mahasiswa FK kan singkatan dari fakultas komputer bukan fakultas kedokteran. Jadi ngak nyambung aja,” goda Nanang.
“Enak aja otak ku ini udah berkembang sempurna, malah sangat baik. Buktinya aku bisa masuk Prodi Ilmu Komputer Fakultas Komputer Akademi Teknik Islam. Prodi Ilmu komputer terbaik no 3 di Indonesia,” Jawaku berbangga hati.
“Yah. Abis komu itu aneh. Kamu mahasiswa tingkat 1 Teknik, dari ilmu Komputer.
Ikut acara simposium yang target audiensnya para Doktor, dokter spesialis, yah kalo dokter umum ada yang ikut pasti dia pengen kuliah S2 atau ambil spesialis kalau tidak pasti dipaksa sama rumah sakit tempat dia bekerja. Atau jangan-jangan kamu kamu relawan pemerhati HIV/ AIDS dan ODHA?” Kata dia.
Aku diam sejenak. Dia memperhatikan aku dia melihat perubahan ekspresiku yang seperti langit mendung yang siap menumpahkan badai di dumi ini. tiba-tiba “DOORR!!!” dia mengagetkan aku. Aku hanya tersenyum kecut.
“Aku penderita,” kataku pelan sekali tanpa ekspresi.
“Ooooo,” Nanang berOoo ria sambil melanjutkan makan nasi gorengnya. Aku bisa melihat dia merasa bersalah menanyakan pertanyaannya.
“Oo? Cuma itu,” tanyaku penasaran.
“Trus harus apa? Kamu ingin aku nangis trus guling-guling. Kalo iya ntar ya kalo udah sampe kos. Malukan kalo dilihat orang? Masak cowok keren kaya aku nangis di restoran gini. Ntar kalo dikirain kamu mutusin aku gimana? Kamu juga yang repot kan?” candanya. Lalu kami tertawa bersama. Cowok aneh pikirku. Aku tau dia ingin menghiburku dengan cara yang berbeda.
“Aneh. Kok malah ber oo ria sih?Biasanya orang pasti kabur. Asal tau aja ya, aku harus pindah sekolah 3 kali dalam setahun karena ketahuan menderita HIV. Untung aja ortu ku ngah ngusir aku. Walaupun penyakit ini menjadi top secret yang sama pentingnya dengan rahasia militer Negara,” kataku.
“Yah. Kan beda. Akukan sarjana kedokteran. Aku udah coas hampir 25 bulan dan tinggal tiga mata kuliah lagi jadi dokter ya harus beda dong nanggapin kasus yang seperti ini,” katanya sambil membanggakan dirinya sambil cengengesan.
“Ngak jamin orang yang mengerti kesehatan memperlakukan kami seperti yang seharusnya. Di rumah sakit misalnya. Kalo kami dirawat tidak jarang kami mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Mereka sering sekali memandang kami seolah-olah kami itu menjijikan,” kataku.
Dia hanya diam, berusaha mengerti apa yang aku rasakan.
“Kalo boleh tau dapat dai mana?” tanyanya. Aku hanya melihatnya sekilas kemudia menunduk sambil berkata “Tranfusi darah.”
“Sesuai perkiraan.” katanya. Aku melihat dia penuh tanda tanya. Kemudia dia melanjutkan ucapannya, “Kamu itu dari awal udah kelihatan polos sekali. Bahkan minum minuman bersoda saja tidak mau. Kenapa? Mau tau aku tau darimana? Hanya kamu yang menolak softdrink yang dibagikan sama panitia. Pasti dapatnya kalo nggak bonus dari tranfusi darah pasti warisan.”
“Jadi kamu menuduh orang tuaku. Asal kamu tau ya mereka adalah orang tua terbaik yang pernah ada. Pokoknya mereka itu tidak ada tandingannya,” potongku.
“Eh kalo ada pak ustad kamu pasti dimarahi,” kata Nanang.
“Kok bisa?” kataku penasaran.
“Ya iyalah. Orang kamunya su’udzon gitu ma aku,” katanya.
“Eh enak aja kamu dulu yang mulai nuduh yang enggak-anggak tentang orang tuaku,” kataku tidak mau kalah.
“Siapa bilang aku nuduh yang engak-enggak ma ortu kamu. Makanya kalo ada orang orang ngomong di dengarin dulu jangan asal nyela. Bisa saja kan orang tua kamu dapat warisan juga dari kakek atau nenek kamu. Eh ternyata mereka juga mendapatkan warisan yang sama,” katanya sambil cegegesan.
“Trus sekarang kamu nuduh nenek sama kakek buyutku orang tidak benar,” kataku menahan emosi.
“Enggak. Siapa tau aja nenek buyut kamu itu dukun beranak,” katanya tetap santai.
“Apa hubungannya?” kataku pelan.
“Hubungannya? Aku kasih tahu ya. Jaman dahulu ketika nenek buyut kamu masih muda kan nggak ada standar yang baku pada persalinan. Siapa tau aja dia menolong penderita HIV/ AIDS. Trus pas ingin memotong tali pusarnya eh ternyata jarinya ikut kepotong. Setelah itu resmilah virus jenius itu memperoleh tempat tinggal baru,” katanya sambil meneguk capucino yang sudah dingin. Aku hanya tersenyum.
Aku belum pernah bertemu degan orang seperti ini. Ada perasaan kagum yang muncul salam diriku. Gimana tidak dia begitu santai menghadapi apa yang ada di depannya bahkan dia masih sempat membuat lelucon tentang penyakit yang begitu menjijikan seperti ini.
Seandainya semuaorang seperti dia. Ah itu tidak mungkin. Seandainya saja aku bertemu dia lebih awal pasti aku bisa lebih mudah menerima semua ini, pikirku. Sisa istirahat itu kami habiskan untuk membicarakan banyak hal tapi lebih banyak untuk mengomentari hal-hal yang tidak bermutu. Seperti kenapa celemek para waiter dan waitress hanya sebatas pinggang ke bawah, padahal kalau ketumpahan makanan kan kemungkinannya baju buka rok atau celana mereka.
******
21.43 dihari yang sama
Aku berdiri sendiri sambil celingukan di depan Bharatayuda resort. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti didepanku. Ku acuhkan saja. Lelaki yang mengendarai sepeda motor itu melepas helmnya. Ternyata mas Nanang yang menaikinya.
“Hai. Belum dijemput? Rumahnya mana? Aku antar yuk?” katanya.
“Nggak usah mas. Tadi udah minta jemput. Mungkin kena macet,” kataku.
“Eh tapi tidak baik lho anak perembuan masih dijalanan malam-malam begini,” kata Nanang.
“Enggak baik juga anak perempuan ikut orang yang tidak dikenal udah malam pula. Mendingan disini kalo ada apa-apa tinggal teriak pasti ditolong satpam,” candaku.
“Tapi sekarang Satpam nggak jaminan baik lho. Ya udah deh kalo gitu aku tungguin sampai yang jemput datang,” katanya. Aku senang ada dia di sini setidaknya aku tidak seperti anak hilang. Tidak ada percakapan lagi kami berdua membisu sambil menunggu sopir yang menjemputku. Untunglah hanya sepuluh menit. Setelah mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal aku segera masuk kedalam mobil dan melaju menuju rumah.
Baru juga tiga kilometer mobil melaju HP-ku berdering. Tanda pesan masuk berkedip-kedip. Ku buka pesan tersebut, ternyata dari mas Nanang. Pesan itu cukup panjang

Pengirim:
Nanang jail
Pesan:
Kita tidak akan tau rencana Allah untuk hidup kita. Meskipun tidak sesuai dengan harapan kita. Kita harus tetap yakin bahwa itu yang terbaik bagi kita. Ini dalah pertemuan pertama kita. Mungkin juga ini pertemuan terakhir kita. Mungkin memang virus itu terlalu cerdas atau bahkan terlalu jenius untuk ditakluknan. Mungkin memeng kamu harus hidup selamanya bersama virus itu. Atau mungkin kamu akan segera meninggal karena virus yang tidak tau terimakasih. Tapi aku ingin mengatakan sesuatu yang dulu pernah dikatakan oleh seseorang yang mengalami nasip yang sama seperti kamu.

“Tidak penting berapa lama aku bisa hidup. Tapi yang terpenting adalah bagaimana aku akan hidup”

Jika kau tau bahwa ini yang terbaik bagi dirimu, kamu pasti bisa melalui ini dengan mudah dan bahagia. Tidak hanya untuk dirimu tapi kau juga akan bisa menjadi sumber kebahagian bagi orang lain.

Pusat pesan:
+62XXXXXX
Dikirim:
24 Agustus 2004
22.17
Air mataku menetes membaca pesan ini. Aku tidak atau kenapa. Aku hanya tau apa yang dia katakan itu benar. Dan aku satut lepada siapapun orang yang bernasip sama denganku itu. Dia benar tidak seharusnya aku terlalu hanyut dan meratapi nasipku. Mulai Semarang aku akan berusaha menjadi cahaya kebahagian bagi orang-arang yang aku cintai dan mereka yang mencintauku.
Dan untuk mu, mas Nanang. Mungkin benar pertemuai kita ini adalah yang pertama dan yang terakir. Tapi aku yakin Allah mengirimmu kebumi ini untukku meskipun hanya untuk sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar