Anak-anak adalah tumpuan orang
tua dan harapan besar bagi bangsa kita yang…. Uh entahlah kalau menurutku sih sekarat. Terserah kalian mau memikirkan
apa. Tapi kita tidak usah lagi berharap banyak kepada anak-anak jika sebagai
orang tua dan orang yang lebih dewasa tidak bisa membimbing dan memebrikan
contoh yang baik bagi mereka.
Hari ini berita buruk terjadi. Keponakan ku pulang sekolah dengan
terburu-buru sesampainya di depan rumah dia membanting sepedanya dan langsung
berlari kerumah. Aku tidak tekejut karena itu sudah biasa. Karena tidak bisa
menemukan kakek dan neneknya dia pergi kerumahku. Sekedar catatan dia memang
tidak beranidirumah sendirian.
Sedang asik bermain tiba-tiba dia
dengan nada polosnya dia bertanya, “mbak Ikho ciu itu apa?” Masya Allah nih anak tau kata itu dari mana.
“Emangnya kenapa?” tanyaku.
“Tadi anak kelas 3,4, dan 5. ditangkap pak guru. Trus diancam dikeluarkan
dari sekolah katanya mereka minum ciu dilapangan. Emang ciu itu sebenarnya
apa?” tanyanya dengan nada polos.
Gimana cara gue menerangkan
pada ni anak bisanya dia kritis baget. Kalo gue jawab minuman keras pasti
disamkan dengan es batu. Duh pusing deh. “Ciu itu racun. Jadi kalo minum ciu nanti racunnya
masuk ke tubuh trus ususnya nanti membusuk lama-lama hatinya juga busuk trus
kalau harinya busuk perurnya membesar dan nanti bisa meledak,” terangku dengan
sok lebai.
“Hah. Racum masak diminum. Nanti bisa mati donk?” katanya dengan terkejut.
Ini adalah salah satu potret kehidupan anak-anak yang hatanya tumpuan hidup
orang tua dan harapan bangsa. Lihatlah jika seperti ini apa yang bisa kita harapkan dari mereka. Memang hanya sebagian kecil yang sudah
terbiasa dengan minuman ini. Sebagian besar baru pertama kali mencoba. Itupun
dengan alasan setia kawan.
Atau kita akan mencoba mencari pembelaan kenapa mereka melakukan hal-hal
yang tidak bermoral. Berani mengkonsumsi minuan keras di depan umum disaan jam
sekolah dan masih berpakaian sekolah.
Di sini kita tidak bisa lagi menyalahkan orang lain. Salahkan diri kita
sebagai orang yang lebih dewasa kita tidak bisa mengawasi, membimbing dan
memerikan contoh yang baik untuk mereka.
Pihah sekolah telah lalai membiarkan anak didik mereka melakukan
pelanggaran. Jangan hanya menyalahkan sekolah. Coba kita lihat kondisi saat
ini. Ujian baru saja selesai minggu kemarin. Otomatis sekarang sedang masanya
bebas dan remidi bagi yang nilainya di bawah KKM. Jadi wajar jika pengawasan
terhadap siswanya melonggat.
Tapi ini bukan alasan guru melalaikan tugasnya menjaga anak didik yang
telah dipercayakan orang tua mereka. Tidak ada salahnya sebenarnya mereka
mendapat sosialisasi tentang mimuman keras. Mungkin ini dianggap tabu dan tidak
penting. Salah besar jika begitu. Ini menjadi sangat penting ketika sekolah itu
berdiri di tengah masyarakat yang terbiasa menikmati nimuman keras.
Mungkin kita mempertanyakan dari mana mereka memperoleh uang itu. Bisa saja
mereka patungan. Mengingat anak jaman sekarang uang saku mereka bisa dikatakan
lebih dari cukup. Berdasarkan pengamatan yang aku lakukan rata-rata anak SD di
sekolah itu berangkat membawa uang saku Rp5.000,00.
Miris juga jika dibandingkan dengan uang sakuku sebagai anak kuliah. Uang
sakuku Cuma Rp 10.000 itupun masih dipotong Rp 4.000 untuk ongkos bis. Jika
terpaksa pulang melewati magrib ongkos bis naik jadi Rp 5.000 karena harus naik
bis antar propinsi. Maaf ini sesi curcol (curhat colongan-red).
Dengan uang saku sebanyak itu mereka bisa saja patungan untuk membeli
minuman laknat itu. Maklum minuman ciu merupakan minuman keras kelas bawah
harganya Cuma Rp 15.000 per liternya. Itupun masih bisa ditawar katanya hehehe.
Dan kalau aku bersu’udzon ria bisa saja mereka mengambil uang orang tua mereka
tanpa ijin. Jika mereka
berani minum-minuman keras. Kemungkinan besar mereka juga berani mengambil uang
orang tua mereka.
Lalu kita akan menyalahkan kenapa penjual mau menjual ciu kepada anak-anak.
Haloo. Ini bukan club malam atau restoran berbintang yang tidak akan melayani
anak-anak yang memesan minuman beralkohol. Ini kampung pembeli tidak akan
mempermasalahkan siapa yang beli. Mereka senang karena dagangan mereka laku.
Pedagang sepertilah yang moralnya rusak. Tidak hanya menjual minuman haram
tapi ini menjualnya kepada anak-anak. Kata bang Roma, “Terlalu”. Tapi jika mau
berfikir lagi tidak sepenuhnya ini salah pedagang tersenut. Meskipun bukan desa
santri masyarakat di sini cukup alim. Peradaran miras biasanya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Tidak mungkin anak sekolah bisa tau tempat membeli ciu secara kebetulan.
Sudah pasti mereka sudah mengetahui lokasi sang penjual. Tidak mungkinkan
mereka mengetuk pintu dan mananyakan “Maaf apa anda menjual ciu?”
Sangat tidak mungkin bisa-bisa mereka diseret kerumah mereka dan diadukan
kepada orang tua mereka. Pertanyaan selanjutnya dari mana anak-anak yang polos
ini mengetahui tempat penjualan minuman beralkohol. Aku saja yang sudah 24 tahun
tinggal didesa ini tidak tau kalo mr X ternyata menjual minuman beralkohol.
Jujur aku baru tau ketika aku mendapatkan berita ini.
Ternyata setelah ditelusuri pihak sekolah mereka di pelopori siswa yang
berinisial SAM. SAM mengaku kalau dia sudah biasa membeli ciu dari mr X. Karena
dia bisa disuruh oleh pemuda yang biasa mabuk-mabukan di tepi rel kereta api.
Lalu bagaimana dengan orang tua mereka? Tidakkah mereka mengawasi anak-anak
mereka? Sibuk. Itulah alasan mereka. masyarakat disini kebanyakan berasal dari
kalangan menengah ke bawah. Jadi mereka menghabiskan sebagian besar waktu
mereka untuk bekerja sebagai petani maupun sebagaiburuh di pabrik.
Tapi seharusnya sibuk buakanlah alasan untuk mengabaikan dan tidak
membimbing anak mereka. Bagau manapun keluarga adalag agen sosialisasi yang
paling berpengaruh bagi seorang anak. Karena disanalah mereka pertama kali mengenal nilai dan norma.
Masihkan kita akan menyalahkan salah satu pihak atas kelalaian ini. Ini semua sebuah rantai yang panjang
dimana semua pihak berperan dan bertanggung jawab atas kelalaian ini.
Berhentilah untuk saling menyalahkan. Sudah saatnya kita menyatukan tujuan
untuk memberikan bimbingan dan contoh yang baik bagi generasi muda.
Ingatlah anak-anak itu seperti kertas putih yang masih polos. Mau jadi seperi apa mereka semua itu
tergantung dengan kita yang akan menulisinya. Sebenarnya aku tidak terlalu suka
dengan teori ini.
Tapi sebagai orang yang lebih dewasa sudah seharusnya kita bertanggung
jawab atas anak-anak yang berada di sekitar kita. Sudah cukup kelalaian ini
hanya terjadi kali ini saja. Tidak diwaktu yang lain.
Semoga kelalaian ini tidak terjadi ditempat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar