Aku berdiri di tepi
halaman rumah nenekku. Atau lebih tepatnya rumah bulikku. Karena nenekku sudah
meninggal otomatis yang mendiami rumah
itu hanya bulekku itupun hanya dihuni seminggu sekali ketika akhir pekan
selain itu bulikku merantau ke kota
untuk mencari nafkah.
Di atas sana awan hitam mulai bedatangan dan
bergelantungan dilangit. Angi dingin dan lembab membelai atau tepatnya menampar
muka dan menjambak rambut keritingku yang tidak terlalu panjang. Tidak hanya
itu dia dengan kejamnya juga menerbangkan debu jalanan kearahku.
Aku hanya berdiri terpaku menatap lubang
panjang dengan kedalaman tidak mencapai satu meter sedangkan lebarnya hanya
setengah meter. Di dasarnya ada air hitam yang menggenang. Ada yang bisa menebak apa yang aku pandang?
Tepat. Lubang itu adalah selokan atau yang lebih kita kenal dengan nama got.
Aku masih ingan dengan jelas. Ketika aku masih berusia delapan hingga
sepuluh tahun. Got yang ada di depanku adalah salah satu tempat bermain
favoritku dan teman-temanku. Jangan heran dulu. Meskipun gotnya masih sama tapi
keadaannya jauh berbeda.
Waktu itu, got ini fungsinga hanya untuk
mengalirkan air hujan ke sungai. Air dari kamar mandi dan limbah mencuci tidak
dialirkan kesini. Jadi got ini hanya berisi air setelah hujab tulur itupun
tidak bertahan lama paling satu jam setelah itu kering lagi. Dan kalo musim
kemarau selalu kering kerontang dan nyaris tidak ada sampah. Kalaupun ada
sampahnya adalah daun-daun kering.
Saat musim kemarau kami sering bermain
masak-masakan, rumah rumahan. Bahkan menjadi tempat persembunyian yang aman
jika kami bermain petak umpet. Oh ya sekedar info dulu got ini dalamnya lebih
dari satu meter dan lebarnya satu meter jadi kami bisa bermain-main disana.
Kalo pengen sembunyi disana tinggal masuk ke gorong-gorong.
Meskipun sejak kecil ak tumbuh disana aku baru bersembunyi disana setelah
berusia sembilan tahun. Maklum tinggi badan baru mencukupi untuk naik turun got
dengan mudah hehehe. Ngak lucukan kalo kalah dalam petak umpet gara-gara tidak
bisa naik dari got.
Di pinggir jalan banyak ditumbuhi pohon waru jadi
tempat ini selalu teduh dan sejuk. Selain itu di kiri kanan got banyak
ditumbuhi berbagai macam tanaman liar. Tapi jangan salah sangkan dulu. Meskipun
tanaman liar dan tidak ada bunga-bunga indah seperti mawar, anggrek, kamboja,
apalagi gelombang cinta atau jemani mereka tidak kalah indah lho.
Kalo kami bermain masak-masakan berbekal pisau
dapur, kaleng susu bekas serta papan kayu yang bentuknya sudah tidak karuan
tanaman liar inilah yang jadi korban. Mereka akan naik kelas menjadi syuran
bohongan yang akan kam potong selayaknya chef profesional kami membayang jika
tumbuhan liar itu adalah bahan-bahan kelas dunia dan memasaknya menjadi makanan
tekenal seperti pizza, spageti, burger dan lain-laun yang hanya bisa kami lihat
di layar TV milik tetangga.
Jangan pernah membayangkan kami bermain
rumah-rumahan dengan boneka barbie lengkap dengan aksesorisnya. Jangankan
boneka barbie yang cantik boneka tiruannya yang harganya Cuma Rp 1.000 saja
merupakan barang mewah bagi kami. Mau tau gimana caranya kami bermain rumah rumahan? Ok sangat gampang. Aku
kasih tau tapi jangan herannya.
Pertama untuk membuat rumah itu sangat mudah untuk
membuat dinding kami tinggal memadatkan tanah halus yang agak basah. Ukuran dindingnya
tidak terlalu besar cukup sebesar jari telunjuk kita. Untuk seberapa besar dan
bentuknya seperti apa itu terserah yang mbuat. Rumah ini lebih mirip disebut
dengan denah saja Ok. Tapi biasanya kalo tanahnya sangat basah atau kita sedang
malas rumah-rumahan ini hanya kita gambar diatas tanah.
Lalu perabotannya gimana? Nah itu sih masalah
gampang. Cukup dengan pecahan genting yang kami rapikan serta bentuk dan
ukurannya tinggal kami sesuakan sesuai dengan kebutuhan kita.
Untuk orangnya kita tinggal potong lidi sesuai
kebutuhan kita. Biasanya sih
untuk membedakan usia semakin tua semakin panjang lidinya. Setelah itu bak
sutradara dalam sinetron striping kimi tinggal menjalankan cerita seperti
kehendak kami.
Titik-titik hujan membawa kami pada
realitas sekarang. Kupandangi got yang dulunya tempat bermainku. Diantara air
hitam yang berbau tidak sedap aku bisa melihat tumbukan berbagai macam sampah
mulai dari daun kering, plastik berwarna-warni yang sepertinya bungkus makanan
kecil, diterjen atau shampo aku tidak mau melihatnya lebih jelas.
Aku beranjak bergi menuju serambi rumah nenekku.
Aku lebih senang menyebutnya begitu, mungkin karena sudah terbiasa menyebutnya
begitu. Aku duduk di dipan kecil di serambi sambil menikmati sejuknya
butir-butir air yang diterpa angin hingga menyentuh tubuhku. Kesejukan yang
membawaku kembali ke masa kecilku saat bermain di selokan.
Kala hujan berhenti kami segera keluar rumah
mennuju selokan tangan kami membawa beberapa lembar kertas yang kami robek dari
buku sekolah kami. Dalam waktu yang singkat tangan-tangan mungil kami telah
menyuap kertas kertas itu menjadi perahu kertas yang siap untuk mengarungi
panjangnya selokan ini.
Dalam hitungan ketiga kami melepas perahu kami di
selokan. Kami mengejarnya hingga garis finis imajinasi kami. Sebenarnya tidak
ada yang namanya garis finis. Kapal yang bertahan lama adalah pemenangnya. Tapi
tidak selama ini idak satupun kapal yang mampu berlayar lebih dari 200 meter.
Saat musim penghujan selokan ini memang selalu
basah dan di beberapa tempat malah tergenang air. Tapi bukan berarti kami tidak
bisa bermain disana. Biasanya di genangan air hidup banyak ikan yah walaupun
cuma ikan cempluk atau cethol jujur kalo dalam bahasa
Indonesia aku tidak tau ikan itu disebut dengan nama apa hehehe.
Ikan cempluk
ini tidak lebih besar dari ikan teri. Bisanya mereka hdup dalam satu kelompok
besar. Nah ikan ikan inilah yang menjadi korban kami. Berbekal jaring yang kami
buat sendiri dari kantong plastik yang telah dilubangi dengan lidi. Agar ujung
kantong plastik tersebut tetap terbuka
kami memnyatukannya dengan gelang yang dibuat dari belah bambu atau kayu yang
masil elastis lalu kami satukan dengan tongkar dari kayu atau bambu. Vala
selesailah jaring buatan kami.
Saatnya beraksi lomba menangkap ikan cempluk dimulai. Kegiatan ini hanya
untuk senang-senang saja. Kami hanya senang menangkapinya. Lagi pula siapa yang
mau mengolahnya untuk menjadi lauk mwerepotkan saja. Ikan itu kami kumpulkan
dalam ember dan berakir dengan kematian mereka atau dibuang orang tua kami. Kalo
ikan ini sedang beruntung kami langsung melepaskan mereka setelah kami
mengangkap mereka.
Hujan semakin deras, tapi langir belum menunjukan
tanda-tanda untuk menghentikan hujan. Bahkan mendung semakin pekat dan memenuhi
seluruh penjuru langit. Belum ada 20 menit sujak hujan tadi turun selokan sudah
penuh dengan air hujan. Tidak hanya penuh tapi juga sudah meluber hungga
kejalan.
Aku sangat terkejut ketika melihat seorang wanita
setengah berlari di jalanan. Bukan karena mengkuatir apa yang terjadi tapi aku
melihat tinggi ait di jalan sudah manutup mata kaki wanita itu. Pemandangan ini
tidak pernah aku lihar ketika aku masih kecil.
Di seberang jalan aku melihat pria paruh baya.
Tangan kirinya memeng pajung sedangkan tangan kanannya memegang tongkat kayu.
Dia menggunakan tongkat kayu itu untuk memasukan sampah yang dibawa air kedalam
gorong-gorong agar bisa hanyut. Tinggi air selokan disana sudah melebihi tinggi
gorong-gorongnya sehingga sambah menumpuk di pintu gorong-gorong dei depan
rumahnya.
Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membantunya
dan aku memang tidak ada niat untuk membantu. Aku memperhatikan sebentar
sebelum masuk rumah. Butir-butir air yang mengenaiku tidak lagi sejuk tapi
sudah berubah menjadi dingin. aku sudah kedinginan untuk tetap berada diluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar