Sabtu, 15 Juni 2013

Hilangnya Selokanku


Aku berdiri di tepi halaman rumah nenekku. Atau lebih tepatnya rumah bulikku. Karena nenekku sudah meninggal otomatis yang mendiami rumah  itu hanya bulekku itupun hanya dihuni seminggu sekali ketika akhir pekan selain itu bulikku merantau ke kota untuk mencari nafkah.
Di atas sana awan hitam mulai bedatangan dan bergelantungan dilangit. Angi dingin dan lembab membelai atau tepatnya menampar muka dan menjambak rambut keritingku yang tidak terlalu panjang. Tidak hanya itu dia dengan kejamnya juga menerbangkan debu jalanan kearahku.

 Aku hanya berdiri terpaku menatap lubang panjang dengan kedalaman tidak mencapai satu meter sedangkan lebarnya hanya setengah meter. Di dasarnya ada air hitam yang menggenang. Ada yang bisa menebak apa yang aku pandang? Tepat. Lubang itu adalah selokan atau yang lebih kita kenal dengan nama got.
Aku masih ingan dengan jelas. Ketika aku masih berusia delapan hingga sepuluh tahun. Got yang ada di depanku adalah salah satu tempat bermain favoritku dan teman-temanku. Jangan heran dulu. Meskipun gotnya masih sama tapi keadaannya jauh berbeda.
Waktu itu, got ini fungsinga hanya untuk mengalirkan air hujan ke sungai. Air dari kamar mandi dan limbah mencuci tidak dialirkan kesini. Jadi got ini hanya berisi air setelah hujab tulur itupun tidak bertahan lama paling satu jam setelah itu kering lagi. Dan kalo musim kemarau selalu kering kerontang dan nyaris tidak ada sampah. Kalaupun ada sampahnya adalah daun-daun kering.
Saat musim kemarau kami sering bermain masak-masakan, rumah rumahan. Bahkan menjadi tempat persembunyian yang aman jika kami bermain petak umpet. Oh ya sekedar info dulu got ini dalamnya lebih dari satu meter dan lebarnya satu meter jadi kami bisa bermain-main disana.
Kalo pengen sembunyi disana tinggal masuk ke gorong-gorong. Meskipun sejak kecil ak tumbuh disana aku baru bersembunyi disana setelah berusia sembilan tahun. Maklum tinggi badan baru mencukupi untuk naik turun got dengan mudah hehehe. Ngak lucukan kalo kalah dalam petak umpet gara-gara tidak bisa naik dari got.
Di pinggir jalan banyak ditumbuhi pohon waru jadi tempat ini selalu teduh dan sejuk. Selain itu di kiri kanan got banyak ditumbuhi berbagai macam tanaman liar. Tapi jangan salah sangkan dulu. Meskipun tanaman liar dan tidak ada bunga-bunga indah seperti mawar, anggrek, kamboja, apalagi gelombang cinta atau jemani mereka tidak kalah indah lho.
Kalo kami bermain masak-masakan berbekal pisau dapur, kaleng susu bekas serta papan kayu yang bentuknya sudah tidak karuan tanaman liar inilah yang jadi korban. Mereka akan naik kelas menjadi syuran bohongan yang akan kam potong selayaknya chef profesional kami membayang jika tumbuhan liar itu adalah bahan-bahan kelas dunia dan memasaknya menjadi makanan tekenal seperti pizza, spageti, burger dan lain-laun yang hanya bisa kami lihat di layar TV milik tetangga.
Jangan pernah membayangkan kami bermain rumah-rumahan dengan boneka barbie lengkap dengan aksesorisnya. Jangankan boneka barbie yang cantik boneka tiruannya yang harganya Cuma Rp 1.000 saja merupakan barang mewah bagi kami. Mau tau gimana caranya kami bermain rumah rumahan? Ok sangat gampang. Aku kasih tau tapi jangan herannya.
Pertama untuk membuat rumah itu sangat mudah untuk membuat dinding kami tinggal memadatkan tanah halus yang agak basah. Ukuran dindingnya tidak terlalu besar cukup sebesar jari telunjuk kita. Untuk seberapa besar dan bentuknya seperti apa itu terserah yang mbuat. Rumah ini lebih mirip disebut dengan denah saja Ok. Tapi biasanya kalo tanahnya sangat basah atau kita sedang malas rumah-rumahan ini hanya kita gambar diatas tanah.
Lalu perabotannya gimana? Nah itu sih masalah gampang. Cukup dengan pecahan genting yang kami rapikan serta bentuk dan ukurannya tinggal kami sesuakan sesuai dengan kebutuhan kita.
Untuk orangnya kita tinggal potong lidi sesuai kebutuhan kita. Biasanya sih untuk membedakan usia semakin tua semakin panjang lidinya. Setelah itu bak sutradara dalam sinetron striping kimi tinggal menjalankan cerita seperti kehendak kami.
 Titik-titik hujan membawa kami pada realitas sekarang. Kupandangi got yang dulunya tempat bermainku. Diantara air hitam yang berbau tidak sedap aku bisa melihat tumbukan berbagai macam sampah mulai dari daun kering, plastik berwarna-warni yang sepertinya bungkus makanan kecil, diterjen atau shampo aku tidak mau melihatnya lebih jelas.
Aku beranjak bergi menuju serambi rumah nenekku. Aku lebih senang menyebutnya begitu, mungkin karena sudah terbiasa menyebutnya begitu. Aku duduk di dipan kecil di serambi sambil menikmati sejuknya butir-butir air yang diterpa angin hingga menyentuh tubuhku. Kesejukan yang membawaku kembali ke masa kecilku saat bermain di selokan.
Kala hujan berhenti kami segera keluar rumah mennuju selokan tangan kami membawa beberapa lembar kertas yang kami robek dari buku sekolah kami. Dalam waktu yang singkat tangan-tangan mungil kami telah menyuap kertas kertas itu menjadi perahu kertas yang siap untuk mengarungi panjangnya selokan ini.
Dalam hitungan ketiga kami melepas perahu kami di selokan. Kami mengejarnya hingga garis finis imajinasi kami. Sebenarnya tidak ada yang namanya garis finis. Kapal yang bertahan lama adalah pemenangnya. Tapi tidak selama ini idak satupun kapal yang mampu berlayar lebih dari 200 meter.
Saat musim penghujan selokan ini memang selalu basah dan di beberapa tempat malah tergenang air. Tapi bukan berarti kami tidak bisa bermain disana. Biasanya di genangan air hidup banyak ikan yah walaupun cuma ikan cempluk atau cethol jujur kalo dalam bahasa Indonesia aku tidak tau ikan itu disebut dengan nama apa hehehe.
Ikan cempluk ini tidak lebih besar dari ikan teri. Bisanya mereka hdup dalam satu kelompok besar. Nah ikan ikan inilah yang menjadi korban kami. Berbekal jaring yang kami buat sendiri dari kantong plastik yang telah dilubangi dengan lidi. Agar ujung kantong  plastik tersebut tetap terbuka kami memnyatukannya dengan gelang yang dibuat dari belah bambu atau kayu yang masil elastis lalu kami satukan dengan tongkar dari kayu atau bambu. Vala selesailah jaring buatan kami.
Saatnya beraksi lomba menangkap ikan cempluk dimulai. Kegiatan ini hanya untuk senang-senang saja. Kami hanya senang menangkapinya. Lagi pula siapa yang mau mengolahnya untuk menjadi lauk mwerepotkan saja. Ikan itu kami kumpulkan dalam ember dan berakir dengan kematian mereka atau dibuang orang tua kami. Kalo ikan ini sedang beruntung kami langsung melepaskan mereka setelah kami mengangkap mereka.
Hujan semakin deras, tapi langir belum menunjukan tanda-tanda untuk menghentikan hujan. Bahkan mendung semakin pekat dan memenuhi seluruh penjuru langit. Belum ada 20 menit sujak hujan tadi turun selokan sudah penuh dengan air hujan. Tidak hanya penuh tapi juga sudah meluber hungga kejalan.
Aku sangat terkejut ketika melihat seorang wanita setengah berlari di jalanan. Bukan karena mengkuatir apa yang terjadi tapi aku melihat tinggi ait di jalan sudah manutup mata kaki wanita itu. Pemandangan ini tidak pernah aku lihar ketika aku masih kecil.
Di seberang jalan aku melihat pria paruh baya. Tangan kirinya memeng pajung sedangkan tangan kanannya memegang tongkat kayu. Dia menggunakan tongkat kayu itu untuk memasukan sampah yang dibawa air kedalam gorong-gorong agar bisa hanyut. Tinggi air selokan disana sudah melebihi tinggi gorong-gorongnya sehingga sambah menumpuk di pintu gorong-gorong dei depan rumahnya.
Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membantunya dan aku memang tidak ada niat untuk membantu. Aku memperhatikan sebentar sebelum masuk rumah. Butir-butir air yang mengenaiku tidak lagi sejuk tapi sudah berubah menjadi dingin. aku sudah kedinginan untuk tetap berada diluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar