(bagian 2)
Malam setelah peristiwa itu aku duduk di teras rumahku. Tangan dan mukaku
terasa panas dan perih karena terbakar. Meskipun mukaku tidak terlalu parah
tapi tanganku lumayan parah. Bahkan sampai melepuh. Aku merintih menahan rasa
sakit dan perihnya. Sesekali aku meniup tanganku untuk mengurangi rasa perih.
Tanpa aku ketahui Ajeng dan Runi mengamati aku dari kejauhan. Sepertinya mereka
kecewa terhadap apa yang aku lakukan.
Semakin lama tanganku semakin perih bahkan krim untuk luka bakar yang
biasanya ampuh sepertinya tidak berdaya. Aku hanya bisa menangis untuk menahan
rasa sakit. Sepetinya aku harus menunggu beberapa hari untuk bertemu dengan
Gilang untuk minta maaf dan menjelaskan semua yang sudah terjadi. Tidak
mungkinkan aku menemuinya dengan luka bakar di tubuhku, ntar dia malah shok.
Apapun yang terjadi luka bakar ini ada hikmahnya juga, dengan begini aku bisa
mencari alasan kenapa aku kabur begitu saja.
******
Seperti biasa Gilang bekerja di bengkel kalau tidak ada jam kuliah. Gilang
tampak enggan bekerja, bisa dikatakan dia hannya melamun. Dhimas, teman kerjan
yang merangkap teman kosya hanya geleng-geleng melihat patner kerjanya berubah
total, dari yang tidak bisa diam menjandi pelamun sejati.
“WOOOIIIII!!!!!!” Dhimas mengagetkan Gilang. “Hei Bos. Kamu itu kenapa? Banyak
mobil yang minta diperhatikan tuh,”
“Listya Bro. Ini udah dua minggu. Dia belum muncul juga. Apa dia marah sama
gue? Waktu itu saja dia langsung pergi tanpa permisi,” kata Gilang.
“Lah kok tanya sama gue? Mana gue tau. Dari pada Lo galau kayak gini
mending sekarang Lo hubungi dia aja,” saran Dhimas.
“Bener juga kamu. Kenapa nggak kepikiran,” sahur Gilang dengan penuh
semangat.
“Tentu saja. Karena otakmu itu isinya Cuma Listya. Listya, dan Listya,” goda Dhimas. Tiba-tiba saja
muka Gilang menjadi layu.
“Tapi, gimana caranya?” tanya Gilang.
“Mudah saja. Lho panggil
namanya trus kamu hentakan kaki tiga kali. Kalo perlu sediakan juga kembang tujuh
rupa dan kemenyan. Hahahahah,” canda Dhimas.
“Buset deh emang aku pacaran ma jin apa?” kata Gilang sambil tertawa.
“Habisnya lho itu aneh bin ajaib. Hari ini tanya gimana mengubungi Listya
sekarang itu jaman sudah maju jadi manfaatkan tu yang namanya HP,BBM, facebook,
twitter, email kalo pengen murah ya SMS. Kalo masih ngak bisa Lo kirim surat
aja. Tapi kalo kelamaan ya kamu kirim telegram,” kata Dhimas jail.
“Nah. Itu masalahnya Gue nggak punya no Hpnya. Bahkan rumahnya saja Gue
tidak atau. Biasanya sih dia sudah nongol di tempat biasanya kita ketemuan,”
terang Gilang.
“Kalo sudah begitu gue ngak bisa bantu lagi. Lo juga sih aneh masak telp
dan rumah pacar tidak tau,” kata Dhimas.
****
“Gilang!! Gilang!!” panggilku setelah masuh ke kamar tamu kontrakan Gilang.
Tapi aku mendengar ada suara
dari belakang. Berarti dia dirumah. Jadi aku duduk di kursi menunggu dia.
“Listya!” kata gilang terkejut samapi – sampai kopi yang dibawanya tunpah
sebagian. Aku langsung berdiri sambil tersenyum. “Kamu kemana aja? Aku cari –
cari kamu nggak ada, bahkan hampir setiap malam aku menunggumu di tempat biasa,
tapi kamu ngak pernah nongol. Kamu tau nggak aku kangen banget sama kamu? Aku takut sekali. Aku takut
kamu marah dan tidak mau ketemu aku lagi,” Gilang memberondongku dengan
berbagai pertanyaan aku tidak bisa menyelanya sedikitpun.
“Kamu pikir aku tidak kengen apa? Aku tuh sangat takut kalian marah padaku.
Aku takut papa dan mamamu
berfikir kalo aku anak yang tidak tau sopan santun. Maaf ya? Waktu itu aku main pergi saja. Ibu kirim
pesan kalo dia tiba ditumah saking senangnya aku main kabur aja. Besoknya ibuku
mengajakku menjenguk nenek jadi aku tidak bisa menemui kamu,” kataku.
“Syukurlah kalo begitu. Aku jadi tenang. Maaf ya aku ngak nawarin kamu
kopi. Soalnya tinggal satu-satunya dan lagi nanti malam aku harus begadang
ngerjain tugas,” kata Gilang.
“Nggak apa – apa. Lagian aku tidak suka kopi. Kalo kebanyakan minum
jantungku tidak kuat dan lagi bikin gampang buang air .......,” aku tidak
menyelesaikan kalimatku.
“LISTYA!!!” bentak Runi.
Entah sejak kapan dia sudah muncul di belakang Gilang dengan bentuk
aslinya. Aku terkejur. Gilang langsung menoleh kebelakang untuk melihar siapa
yang ada di belakangnya.
“AAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!” aku dan Gilang berteriak bersamaan sedangkan
Runi tidak mengubah ekspresinya tetap datar.
“HHHAAAANNNNNNN...........HANTUUUUUUU!!!!!!!” teriak Gilang ketakutan.
“Bukan, bukan hantu. Itu Runi kakak ku,” kataku memberi penjelasan.
“Ru... Runi. Kakak kamu?” tanya Gilang masih ketakutan. Aku mengangguk.
“AAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!” teriak Gilang dan berlari masuk ke kamar dan
menguncinya.
Aku berlari mengejarnya tapi percuma kamar sudah terkunci dari dalam. Aku
berusaha memurat handel pintu untuk membukanya sambil terus mengedor-gedor
pintu dan minta Gilang membuka pintunya.
“Lang! Buka pintunya
lang! Plissss!” aku memohon
di balik pintu.
Tapi sepertinya Gilang sudah tidak peduli lagi. Aku menggedor semakin
keras, namun tidak ada reaksi apapun dari Gilang. Sepertinya diapun sudah tidak
peduli jika pintu ini sampai rusak. Runi yang masih berdiri di tempatnya hanya
menggeleng melihat tingkahku. Kemudian dia berjalan menghampiriku. Sambil
menepuk bahuku dia berkata “Listya! Kamu itu jin. Ngapaian ngedor-gedor pintu
tidak jelas gitu? Langsung
masuk aja napa.”
“Eh. Lupa, maksih ya udah ngingetin,” kataku.
Aku langsung masuk ke kamar Gilang. Dia bergelung di balik selimutnya karena ketakutan. Aku menarik selimutnya saat
itu Runi sudah ada di belakangku.
“AAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!” aku
dan gilang berteriak bersamaan. Gilang berteriak karena takut sedangkan aku berteriak karena terkejut.
“Pergi! Jangan ganggu aku!” pinta Gilang ketakutan.
“Gilang. Dengerin duli penjelasan ku. Aku tidak bermaksut membuat kamu
takut. Aku sayang kamu Lang,” kataku.
“Aku tidak mau tau. Jadi pergi dan jangan ganggu aku,” kata Gilang masih
ketakutan.
Tiba-tiba muncul dua sosok jin. Tidak seperti aku dan Runi yang memiliki
tubuh yang mungil. Mereka bertubuh tinggi besar dan memegang tombak. Mukaku
berubah menjadi ketakutan. Tapi
tidak begitu dengan Runi karena dia tau dia tidak bersalah.
“LIATYA! Kau harus menghadap ketua dewan keamnan sekarang!” kata salah satu
dari mereka.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain ikut dengan mereka. Karena percuma
juga menolak mereka pasti bisa mamaksaku lagi pula kekuatan kami tidak
sebanding.
“Lihat ini semua gara-gara kamu. kalau terjadi apa-apa dengan Listya kamu
harus tanggungjawab!” ancam Runi kepada Gilang sebelum dia pergi.
******
“LISTYA!!”
Terdengar suara menggelegar di ruang sidang pelanggaran ketertiban. Aku
semakin ketakutan. Sebenarnya tanpa suara itu saja ruangan ini sudah sangat
menakutkan. Bagaimana tidak di sisi timur dipasang berbagai macam alat hukuman
yang biasanya digunakan mulai dari cambuk kingga alat yang digunakan untuk
memenggal kepala. Sedangkan di sisi timur dipasang berbagai macam gambar-gambar
pelaksanaan hukuman. Mulai yang paling ringan membersihkan fasilitas umum
hingga hukuman mati dengan cara yang mengenaskan dengan dilempari bara api di
depan umum.
Di sisi selatan atau tepatnya di hadapanku ada delapan anak tangga menuju
mimbar ke adilan. Di beri nama begitu karena disanalah pemimpin sidang dan
dewan ketertiban duduk ketika ada persidangan. Tidak lama kemudian pemimpin
sidang dan ke delapan dewan ketertiban datang bersamaan. Mereka langsung
menempatkan diri di posisi masing-masing.
“Listya. Kamu tau kenapa kamu dipanggil ke sini,” kata pemimpin sidang. Meskipun
dikatakan dengan lantang dan tegas tapi kalimat itu lebih terdengar berwibawa
dari pada menakutkan.
“Iya aku tau,” kataku pelan. Aku hanya menundukan kepalaku bukan lantaran
takut tapi aku tau aku bersalah.
“Tidak selayaknya bangsa kamu menjalin asmara dengan manusia. Seharusnya
kamu tau. Berdasarkan undang undang yang telah ditetapkan hubungan bangsa kita
dan manusia hanya sebatas menjadi pengikut mereka kalo mau atau dipaksa oleh
mereka dan kekuatan kita dibawah kekuatan manusia beserta pengikutnya,”
pemimpin sidang menjelaskan peraturan dasar yang biasa di berikan kepada jin
yang beranjak dewasa.
“Tapi, aku menyukainya,” bantahku.
“Jika bangsa kita sampai menyukai manusia. Sudah ditetapkan kalo kita tetap tidak boleh menjalin hubungan dengan
manusia. Tapi kita boleh menjaga dan melindungi manusia yang kita sayangi tanpa
perlu menunjukan rasa cinta kita kepada mereka. Ini sudah ditetapkan. Kau pasti
tau itu. Bangsa jin tidak bisa bersatu dengan manusia,” salah satu dewan
ketertiban dengan lembut dan penuh kasih sayang. Perkataan itu seolah-olah
muncul dari seorang ibu yang sedang menghibur anaknya yang sedang patah hati.
Bukan seorang wanggota dewan ketertiban.
“Itu tidak adil. Kenapa aku tidak bisa bersatu dengannya, padahal kami
saling menyukai. Manusia yang
tidak saling mencintai saja bisa hidup bersama kenapa kami tidak?” rengekku.
“Sayang. Meskipun kita dan manusia tinggal di tempat yang sama. Tapi kita
menenpati dimensi yang berbeda. Selain itu kita dikaruniai usia yang jauh lebih
panjang dari mereka. Kekuatan dan pengetahuan kita juga melebihi mereka tapi
itu semua tidak membuat kita layak untuk bersanding dengan mereka. Karena Allah
telah memilih mereka untuk menjadi prmimpin di dunia ini. Ini sudah cukup
membuktikan kalau manusia itu jauh lebih sempurna jika di bandingkan kita ” kata
pemimpin sidang dengan bijaksana dan kali ini terdengar penuh kasih sayang.
“Tapi cinta itu seharusnya tidak mengenal kasta,” rengekku tetap tidak mau
mengalah.
“Cinta memang tidak mengenal kasta. Tapi cinta itu mengenal yang namanya
jenis. Kita dan manusia itu berbeda jenis. Karena itu tidak mungkin untuk
bersatu. Ku harap kau mengerti itu,” kata salah satu dari dewan ketertiban. Aku
hanya diam meskipun aku tetap belum bisa menerima tapi aku tau apa yang mereka
katakan itu benar.
“Sayang aku tau walau ini berat untukmu. Tapi kau harus menerima semua ini. Mulai sekarang
kamu tidak boleh menunjukan dirimu pada Gilang. Kalau tidak kami tidak punya
pilihan lain selain mengurungmu selama 150 tahun. Kecuali kalau kamu menjadi
pengikut Iblis dan menghuni neraka yang panas itu,” kata pemimpin sidang. Aku
hanya mengangguk pasrah menerima hukuman yang di berikan padaku.
“Tapi, setidaknya ijinkan aku bertemu dengan Gilang sekali saja untuk
pamitan,” aku memohon. Mereka semua tampak tidak setuju tapi mereka
berbisik-bisik mendiskusikan permintaan ku.
“Kau oleh menemui Gilang sekali lagi, tapi ada dua syaratnya. Pertama
ketika kau menemuinya harus dengan wujutmu yang sebenarnya, yang kedua harus
Gilang yang meminta bertemu. Paham!” kata pemimpin sidang. Aku mengangguk dan
mereka langsung menghilang bersamaan.
*****
Gilang buduk di Kap jeeb di bengkel tempat dia bekerja. Sedangkan Dhimas berada di ada di mobil
memperbaiki mesin mobil. Wajah Gilang tampak kacau. Sedangkan dari bawah mobil terderngar suara
denting besi yang saling bertumbukan.
“Dhim. Gue ......... gue.........,” kata Gilang terputus-putus. Dhimas
kemuar dari kolong mabil dan menghampiri Gilang.
“Lo hamil?” tanya Dhimas seenaknya.
“Bukan. Maksutnya tapi……. Tapi.......,” kata Gilang.
“Pacar Lo hamil,” tanya Dhimas.
“Ah, kamu itu seenakanya sendiri. Gini-gini gue masih perjaka. Dan gue
tidak mau berzina takut dosa,” kata Gilang sedangkan Dhimas hanya tertawa.
“Nah. Gitu donk. Kalo ngomong itu yang jelas jangan seperti gadis minta
nikah. Hehehe. Emannya kenapa?” tanya Dhimas sambil cekikian.
“Oke. Gue suka sama cewek. Emangsih tidak secantik artis-artis itu tapi dia
baik. Sayangnya kita........kita....... berbeda,” kata Gilang.
“Yah. Kamu ini. Ini bukan lagi jamannya Romeo dan Juliet, dan Jaman
kerajaan masih berjaya, dan yang paling penting ini bukan sinetron jadi lupakan
saja perbedaan. Yang namanya cinta itu saling melengkapi. Cinta tidak mencari
yang namanya kesamaan. Tapi cinta itu belajar saling memahami, saling mengerti,
dan saling mempercayai. Gimana keren nggak kata-kata gue,” kata Dhimas sambil
menunjukan tampang jailnya.
“Hebat juga Lo. Bisa puitis dan bijak sana seperti itu,” kata Gilang lega.
“Pasti dong dan yang penting kalo cinta itu harus sama ntar malah main
pedang-pedangan donk,” kata Dhimas jail. Kemudia Dhimas dan Gilang tertawa
bersamaan.
*****
Malam baru belum terlalu larut. Gilang berlari-lari di tep jalan tempat bisanya kami bertemu. Pandangnya
menyapu kesegala arah untuk mencari sesuatu. Merasa pencariannya sia-sia karena
tidak menemukan apa yang dia cari. Setengah putus asa dia memanggil ku.
“LIST!!! LISTYAAAAAAA!!!!!!!!!!! AKU MINTA MAAF. AKU TAU AKU SALAH. AKU MAU
KITA BERSAMA LAGI! Listya plisss kemarilah aku ingin bertemu kamu aku mau minta
maaf,” teriak Gilang. Untung saja waktu itu sepi kalau tidak pasti sudah
disangka orang gila.
Sesuai dengan hasil persidangan pelanggaran ketertibanku, berarti aku bisa menemui Gilang untuk yang
terakirkalinya. Aku muncul dihadapan Gilang dan dia tampak terkejut. Wajar saja
aku tidak menemui dia sebagai Listya yang dia kenal. Melainkan dalam bentuku
yang sebenarnya. Tubuh ku terlalu pendek untuk ukuran manusia. Kepalaku lebih
besar dari kepala umumnya sedangkan tangan, kaki dan tubuhku terlalu kecil jika
dibandingkan dengan kepalaku. Mataku lonjong ke samping sedangkan kulirku
berwarna gelap. Aku berharap dia takut sehingga dia bisa membenciku dan segera
melupakan aku.
“Listya?” tanyanya aku hanya mengangguk pelan. “List, aku tau aku salah. Aku minta maaf. Tidak
seharusnya aku berteriak padamu dan mengusirmu. Sungguh aku ingin kita bersama
lagi seperti biasanya,” kata Gilang memohon. Aku tidak akan marah jika dia lari
atau teriak ketakutan. Tapi melihat dia seperti ini hatiku hancur melebihi yang
terjadi dalam persidangan.
“Maaf. Tapi itu tidak mungkin,” kataku dengan pelan sambil menunduk.
“Kenapa? Bukankah kita saling menyayangi. Atau kamu sudah tidak sayang aku
lagi” kata Gilang.
“Bukan begitu. Aku masih sayang kamu. Tapi kita tidak mungkin untuk bersatu. Kamu tahu
sendiri kita ini berbeda,” kataku.
“Aku tidak peduli, kata Dhimas cinta itu saling melengkapi. Cinta tidak
mencari yang namanya kesamaan. Tapi cinta itu belajar saling memahami, saling
mengerti, dan saling mempercayai,” kata Gilang sambil tersenyum. Aku pun ikut
tersenyum kecil dalam kondisi normal pasti aku akan tertawa terbahak-bahak.
“Tapi ini tidak hanya perbedaan status sosial ekonomi tapi kita ini berbeda
dimensi, beda alam, kalo mamusia bilang aku berasal dari dunia lain. Yang
terpenting ini bukan sinetron murahan yang sering kamu lihat di TV. Dimana
cinta tokoh utamanya selalu berakir bahagia,” kataku terputus putus dan setengah
beteriak karena aku menahan panas yang tiba-tida menyerang tengorokanku.
“List, aku mencintaimu. Aku inging kita tetap bersama selamanya. Plis
tetaplah di sini bersamaku,” pinta Gilang.
“Maaf aku tidak bisa. Kamu pikir jin dan manusia bisa bersatu dan menikah.
Mau jadi apa ntar anak-anaknya. Dan yang paling penting aku bukan Nyi Blorong
atau Nyi Loro Kidul yang akan menikahi raja-raja di Jawa atau lelaki yang dia
sukai. Dan yang pasti aku tidak mau masuk neraka gara-gara melanggar ketentuan
Allah. Aku tau ini menyakitkan tapi aku yakin jika Allah menciptakan pasangan
kita dari jenis kita sendiri,” kataku.
“Kalo begitu biar aku mati saja. Aku tidak peduli jika harus jadi hantu
atau roh penasaran. Aku hanya ingin bersamamu!” teriak Gilang.
Aku tertawa terbahak-bahak di sela air mataku yang masi mengalir. “Dasar
bodoh. Percuma saja kamu bunuh diri. Yang akan kamu dapati hanya laknat dari
Allah SWT, bukannya hidup bersamaku,” takaku.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Gilang.
“Mudah saja. Karena Allah hanya menciptakan makhluk halus berupa malaikat
dan jin. Tidak ada yang namanya hantu atau roh pemasaran. Yang kalian percayai
sebagai hantu itu tidak lain adalah jin seperti aku yang usil ingin
menakut-nakuti manusia. Atau mereka yang ingin menyesatkan manusia,” kataku
sambil terawa.
“Trus aku harus bagaimana?” tanyanya.
“Tetaplah hidup. Renungkan semua ini. Pasti ada hikmah yang bisa kita ambil
dari semua ini. Mendekatlah kepada Allah SWT, semoga kita bisa bertemu di
akhirat nanti,” kataku.
“Ini semua tidak adil. Kenapa Allah SWT mempertemukan kita. Dia membuat aku
jatuh cinta dan sayang kepadamu, tapi kenapa Dia tidak mengijinkan kita hidup
bahagia bersama?” rengek Gilang.
“Mana aku tau. Yang aku tau dia tau yang terbaik untuk umatnya. Meskipun
kadang kita memganggap keputusannya tidak adil. Tapi aku berusaha berfikir
bahwa itu yang terbaik. Ini memang sangat menyakitkan tapi aku akan berusaha
untuk mengiklaskan semua ini,” kataku.
Gilang hanya diam saja. Di raihnya tanganku kemudian digenggamnya dengan
erat. Tak kuasa aku menahan air mata yang tadi seudah aku kubendung. Aku
menangis lagi kali ini aku tidak berusaha untuk menahannya.
“Aku harus pergi. Tapi
aku punya permintaan, hiduplah bahagia. Jangan sekalipun kamu mengecewakan
orang tuamu. Dan yang terpenting mendekatlah kepada Allah SWT. Mungkin sekarang
kita tidak tau kenapa kita di pertemukan tapi mungkin suatu saat nanti Allah
akan memberitahukan kenapa kita bertemu. Aku tidak akan memaksamu untuk
melupakan aku. Tapi kau harus bisa mnegiklaskan perpisahan kita,” kataku. Ku
lepas genggaman tangnnya.aku pergi meninggalkannya menuju ke duniaku. Aku
benar-benar terluka tapi aku yakin ini yang terbaik bagi kita berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar