Musim panen akan segera tiba. Padi mulai merunduk dan menguning. Langit
selalu cerah maklum saja ini musim kemarau. Angin berhembus cukup kencang tapi
ini sudah biasa. Disini yang ada hanya hamparan sawah yang ditumbuhi padi jadi
tidak ada yang menghalangi hembusan angin lembut yang membelai ah tepatnya
menampar muka kami.
Tidak hanya petani yang senang menyambut musim panen kali ini, kami
anak-anak yang yang masih polos juga gembira menyambutnya. Ini adalah libur
kenaikan kelas jadi kami bisa bermain sepuas kami tidak ada yang akan
memarahikami dan mengganggu kami. Asal saja kami tidak lupa waktu mengaji, makan
dan sholat. Hehehhe
Kami bersyukur di lahirkan di desa kecil
ini, sebuah desa di lereng gunung Lawu. Tidak seperti anak kota yang tidak
punya lahan bermain disini kami bebas bemain, sungai, lapangan, bermain lumpur
disawah bahkan bermain di jalanan. Maklum saja jalan desa hanya ramai ketika
jam berangkat dan pulang sekolah atau kerja. Selain waktu itu jalanan kami yang
menguasai.
Seperti sekarang ini kami bermain di
pematang sawah. Lebih dari sepuluh anak mengulur layang-layang, belum lagi
anak-anak yang hanya menonton karena tidak memiliki layang-layang. Di lagit
tampak layang-layang dengan berbagai macam gambar tengah menari-nari. Benang
layang-layang kami ulur setinggi-tingginya. Sorak sorai kami menyemangati
layang-layang kami yang berada di atas sana.
Semakin tinggi layang-layang kami semakin
kecil terlihat dan yang pasti semakin tenang pergerakan laying-layang kami. Angin di atas lebih tenang di bandingkan
angin yang ada dibawah, mungkin itu konyol tapi itu yang selama ini
pikirkan. Meskipun pemikiran ini akan terbantah ketika aku berada di bangku SMP
tapi terseralah. Akukan Cuma anak kecil.
“Sial. Dari
tadi layang-layangku tidak mau terbang. Jatuh ke sawah terus,” keluh Tia
sambil menggulung benangnya.
“Hahahahha,
siapa suruh pilih gambar putri duyung. Seharusnya seperti punyaku gambar Garuda
jadi mau terbang,” ejek Purnama. Tia hanya cemberut.
“Biarin yang
penting cantik,” bantah Tia sambail berusaha menerbangkan layang-layangnya
lagi.
“Cantik sih
cantik. Tapi dimana-mana yang namanya putri duyung itu pinter berenang di air
dan nggak bisa terbang. Jadi jangan protes kalau layang-layangnya tidak mau
terbang,” tambahku sambil berusaha menjauhkan layang-layangku dari layang-layang
Denu.
“Hei, Kho. Mau kemana kok lari. Ayo adu
layang-layang,” teriak Denu sambil berbalik kearah ku.
“Aaaaa. Ngak mau. Kamu pakai benang pasti tajam sedangkan aku pakai senar. Sudah pasti aku yang kalah. Rugi
besar-besaran,” teriaku sambil berlari kecil di pematang sawah menjauhi Denu.
“Hhuuuu. Penakut ye. Penakut. Penakut,”
teriak teman-teman lain yang saling bersahut-sahutan sedangkan aku hanya
cengegesan.
Senar layang-layangku terasa berat ketika
ditarik, selain tinggi angin juga semakin kencang. Berlahan aku gulung sedikit
demi sedikit senar layang-layangku. Aku tidak mau kehilangan layang-layangku.
Bisa-bisa dimarahi ortuku hehehe. Dan yang paling penting kalau sampai putus
aku tidak akan bisa main layang-layang lagi. Aku paling benci menjadi penonton
di pematang sawah.
“Hei. Den! Diadu sama aku berani tidak?
Jangan cuma sama cewek. Kita kan sama-sama pakai benang!” tantang Endro sambil
menggulung benang layang-layangnya agar lebih rendah.
“Ayo! Siapa takut,” jawan Denu sambil
menggulung benang layang-layang. Kemudian mereka berjalan saling mendekati. Jarang mereka tinggal 2 meter
mereka berdua berhenti. Denu sudah berhenti menggulung layang-layangnya
sedangkan Endro belum berhenti. Maklun layang-layangnya lebih tinggi dari pada
Denu.
“Udah suap?” tanya Denu. Endro mengangguk dengan
penuh keyakinan. Mereka saling mengaitkan benang layang-layang mereka kemudian
berlari saling menjauh. Setelah cukup jauh mereka berhenti dan menarik-narik
benang di tangan mereka. Tanpa
di komando semua anak yang ada di sawah terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama
pendukung Endro sedangkan kubu kedua pendukung Denu.
“Endro. Endro. Ayo Dro,” teriak pendukung
Endro.
“Den. Jangan Kalah Den. Jangan bikin
malu,” teriak pendukung Denu tidak mau kalah.
Teriakan kami keras membahana. Kami tidak
perlu takut kami ditegur orang dewasa. Ini adalah salah satu kesenangan lainnya
kami bebas berteriak. Tidak ada orang yang akan memarahi kami. Bahkan orang tua cenderung mengabaikan
teriakan kami selama bukan teriakan minta tolong.
Kami terus berteriak mendukung jagoan
kami. Dan mereka semakin bersemangat mengadu layang-layang mereka. Tapi
keramaian ini hanya berlangsung sekitar sepuluh menit tanpa ada tanda-tanda
siapa yang aka kalah. Kami sudah bosan berteriak. Selain itu kami juga haus dan
matahari sudah mulai. Bersamaan hilangnya suara kami Denu dan Endro juga
menjadi malas mengadu layang-layang mereka.
“Gimana ini Dro? Seri. Tidak ada yang
menang?” kata Denu setengah putus asa.
“Ah jadi malas. Udahan aja Den ayo
dipisah,” kata Endro. Mereka berjalan saling mendekai untuk memisahkan
layang-layang mereka.
Saat Denu dan Endro tengah sibuh memisah
layang-layang mereka datanglah hal yang kami tunggu-tunggu dari tadi. Dani dan
Tri datang. Masing-masing
menjinjing tas plastik warna hitam yang tampak berat.
“Mas! Mbak! Esnya!” teriak Tri ketika
mereka sudah dekat.
“Ya, bawa kesini,” teriak kami hampir
bersamaan.
Dani dan Tri adalah anak terkecil diantara
kami semua. Mereka yang
paling sering kami mintai pertolongan. Tapi jangan sangka kami kejam. Bianya
kami patungan memberi upah mereka, seperti saat ini. Masing-masing mendapatkan
ubah Rp 300 padahal kami rata-rata membeli makanan seharga Rp 200 tapi itu
sebanding dengan usaha mereka.
Mereka membagikan makanan yang kami pesan.
Aku menerima es sirup seharga Rp 100 dan dua mie kering yang harganya Rp 50.
Aku duduk bersila di pematang sawah. Kaleng bekas susu yang ku gunakan untuk
menggulung benang aku cepit dengan kedua kakiku. Rasanya sangat menyegarkan es
sirup rasa Frambos mengalir melalui tengoronku.
Hampir semua anak telah menerima makanan
mereka. Mereka menikmari
segarnya es sambil berdiri. Terlihat sangat nikmat. Memang aneh melihatku
menyempatkan duduk hanya untuk menikmati es dan makanan kecil, apalagi untuk
anak seusiaku. Karena kakekku
pernah berkata kalau makan dan minum sambil berdiri itu sama saja memberi makan
setan. Berarti aku dong setannya kan aku yangi makan
sambil berdiri. Wah payah.
“Hai Den gimana nih?” teriak Endro dari
kejauhan,
“Iya nih kok ngak mau lepas,” balas Denu
yang mulai panik.
“Hahahhaha. Rasain makanya ngak usah sok
jago. Pakai adu layang-layang segala. Mendingan kaya aku santai,” kata Tyas
sambil mengulur benang layang-layang.
“Uh. Nggak bantuin malah meledek. Trus
Gimana nih?” tanya Denu.
“Udah mending di turunkan saya. Kalau udah
sampai bawah baru di benerin. Kalau kusurnya parahkan kan tinggal dipotong aja.
Daripada repor-repot,” usul Lia.
“Ya udah. Den. Di turunkan dulu,” Kata
Endro.
“Payah.
Sayang padahal sudah tinggi,” Keluh Denu.
Mereka
menurunkan laying-lanyang mereka. Setelah menemukan bagian benang yang kusur
mereka berdua di bantu Gun dan Edi menguraikan benang yang kusut. Sedangkan aku
masih menikmati segarnya es sirup ku sampil menikmati belaian atau tepatnya sabitan
daun-daun padi di pipiku yang montok.
Aku
sandarkan plastik berisi es dipematang sawah kemudian aku ambil sehelai daun
padi dan aku ikatkan ke senar layang-layangku. Aku manarik-narik senar
layang-layangku seperti ketika menaikan layang-layang. Ajaib.
Bersamaan dengan tarikan senarku baun padi
itu bergerak ke atas. Ini sungguh mengejutkan. Maklum saja waktu itu aku belum tau
tentang teori gelombang hehehe. Aku berdiri dengan cepat.
“Hei. Perhatikan ini!” teriaku.
“Apa?.... Ada apa?” teriak beberapa anak
yang ingin tahu.
“Hei aku bisa bermain sulap. Perharikan daun padi itu. Lihat naik ketas kan,” kataku sambil
menarik-narik senar layang-lanyangku. Mereka semua terpesona.
“Weeeiiiiii. Kok bisa caranya gimana?”
tanya Arif penasaran.
“Gampang kok. Ikatkan saja baun padi lalu
senarnya ditarik-tarik,” kataku bangga.
“Nyoba Ahh,” kata Pita. Hampir semua anak
yang bermain layang-layang mencoba. Aku sendiri mengikatkan satu lagi daun padi
di senarku dan mulai menarik-narik tali senarnya.
“Eh aku bisa,” teriak Pita.
“Nggak usah sombong kau. Aku juga bisa. Eh
ini seperti kirim surat. Kita pura-puranya ngirim surat buat layang-layang
kita,” kata Titi.
“Heh kok aku tidak bisa?” keluh Wahyu.
“Paling kamu mengikatnya terlalu kuat.
Tadi aku juga gitu. Setelah ku kendori bisa kok,” terang Mul.
“Orang, ini sudah longgar kok,” tambah
Wahyu.
“Berarti kurang kuar!” Teriaku. Disambut
gelak tawa semua anak. Memang tidak semua anak bisa melakukannya. Mungkin
mengikanya terlalu kuat atau terlalu longgar. Tapi kami senang bisa menemukan
kesenangan baru saat bermain layang-layang.
Kami sering lupa waktu kalau bemain
layang-layang. Tidak jarang orang tua kami harus menyusul kami ke sawah sambil
membawa sepiring nasi agar anaknya tidak kelaparan. Tidak jarang kami bermain
layang-layang sampai sore. Jika udara terlalu panas kami menikat layang-layang
kami di pangkal rumpun padi dan kami akan mermain ditempat yang teduh atau
melihat acara TV di rumah mas Endro. Maklum waktu itu belum semua orang punya
TV dan lagi rumahnya paling dekat dengan tempat bermain kami.
Beginilah gambaran kehidupan kami anak
desa yang bebas melakukan apa saja yang kami sukai. Tidak ada batasan yang
namanya tempat bemain, status sosial bahkan yang namanya gender. Semua permainan yang ada kami mainkan
bersama tidak peduli laki-laki atau perempuan. Seperti semboyan Keluarga
berencana. Laki-laki atau perempuan sama saja. Hehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar