Rabu, 26 Juni 2013

Kecerian di Pematang Sawah



Musim panen akan segera tiba. Padi mulai merunduk dan menguning. Langit selalu cerah maklum saja ini musim kemarau. Angin berhembus cukup kencang tapi ini sudah biasa. Disini yang ada hanya hamparan sawah yang ditumbuhi padi jadi tidak ada yang menghalangi hembusan angin lembut yang membelai ah tepatnya menampar muka kami.
Tidak hanya petani yang senang menyambut musim panen kali ini, kami anak-anak yang yang masih polos juga gembira menyambutnya. Ini adalah libur kenaikan kelas jadi kami bisa bermain sepuas kami tidak ada yang akan memarahikami dan mengganggu kami. Asal saja kami tidak lupa waktu mengaji, makan dan sholat. Hehehhe

Kami bersyukur di lahirkan di desa kecil ini, sebuah desa di lereng gunung Lawu. Tidak seperti anak kota yang tidak punya lahan bermain disini kami bebas bemain, sungai, lapangan, bermain lumpur disawah bahkan bermain di jalanan. Maklum saja jalan desa hanya ramai ketika jam berangkat dan pulang sekolah atau kerja. Selain waktu itu jalanan kami yang menguasai.
Seperti sekarang ini kami bermain di pematang sawah. Lebih dari sepuluh anak mengulur layang-layang, belum lagi anak-anak yang hanya menonton karena tidak memiliki layang-layang. Di lagit tampak layang-layang dengan berbagai macam gambar tengah menari-nari. Benang layang-layang kami ulur setinggi-tingginya. Sorak sorai kami menyemangati layang-layang kami yang berada di atas sana.
Semakin tinggi layang-layang kami semakin kecil terlihat dan yang pasti semakin tenang pergerakan laying-layang kami. Angin di atas lebih tenang di bandingkan angin yang ada dibawah, mungkin itu konyol tapi itu yang selama ini pikirkan. Meskipun pemikiran ini akan terbantah ketika aku berada di bangku SMP tapi terseralah. Akukan Cuma anak kecil.
“Sial. Dari tadi layang-layangku tidak mau terbang. Jatuh ke sawah terus,” keluh Tia sambil menggulung benangnya.
“Hahahahha, siapa suruh pilih gambar putri duyung. Seharusnya seperti punyaku gambar Garuda jadi mau terbang,” ejek Purnama. Tia hanya cemberut.
“Biarin yang penting cantik,” bantah Tia sambail berusaha menerbangkan layang-layangnya lagi.
“Cantik sih cantik. Tapi dimana-mana yang namanya putri duyung itu pinter berenang di air dan nggak bisa terbang. Jadi jangan protes kalau layang-layangnya tidak mau terbang,” tambahku sambil berusaha menjauhkan layang-layangku dari layang-layang Denu.
“Hei, Kho. Mau kemana kok lari. Ayo adu layang-layang,” teriak Denu sambil berbalik kearah ku.
“Aaaaa. Ngak mau. Kamu pakai benang pasti tajam sedangkan aku pakai senar. Sudah pasti aku yang kalah. Rugi besar-besaran,” teriaku sambil berlari kecil di pematang sawah menjauhi Denu.
“Hhuuuu. Penakut ye. Penakut. Penakut,” teriak teman-teman lain yang saling bersahut-sahutan sedangkan aku hanya cengegesan.
Senar layang-layangku terasa berat ketika ditarik, selain tinggi angin juga semakin kencang. Berlahan aku gulung sedikit demi sedikit senar layang-layangku. Aku tidak mau kehilangan layang-layangku. Bisa-bisa dimarahi ortuku hehehe. Dan yang paling penting kalau sampai putus aku tidak akan bisa main layang-layang lagi. Aku paling benci menjadi penonton di pematang sawah.
“Hei. Den! Diadu sama aku berani tidak? Jangan cuma sama cewek. Kita kan sama-sama pakai benang!” tantang Endro sambil menggulung benang layang-layangnya agar lebih rendah.
“Ayo! Siapa takut,” jawan Denu sambil menggulung benang layang-layang. Kemudian mereka berjalan saling mendekati. Jarang mereka tinggal 2 meter mereka berdua berhenti. Denu sudah berhenti menggulung layang-layangnya sedangkan Endro belum berhenti. Maklun layang-layangnya lebih tinggi dari pada Denu.
“Udah suap?” tanya Denu. Endro mengangguk dengan penuh keyakinan. Mereka saling mengaitkan benang layang-layang mereka kemudian berlari saling menjauh. Setelah cukup jauh mereka berhenti dan menarik-narik benang di tangan mereka. Tanpa di komando semua anak yang ada di sawah terbagi menjadi dua kubu. Kubu pertama pendukung Endro sedangkan kubu kedua pendukung Denu.
“Endro. Endro. Ayo Dro,” teriak pendukung Endro.
“Den. Jangan Kalah Den. Jangan bikin malu,” teriak pendukung Denu tidak mau kalah.
Teriakan kami keras membahana. Kami tidak perlu takut kami ditegur orang dewasa. Ini adalah salah satu kesenangan lainnya kami bebas berteriak. Tidak ada orang yang akan memarahi kami. Bahkan orang tua cenderung mengabaikan teriakan kami selama bukan teriakan minta tolong.
Kami terus berteriak mendukung jagoan kami. Dan mereka semakin bersemangat mengadu layang-layang mereka. Tapi keramaian ini hanya berlangsung sekitar sepuluh menit tanpa ada tanda-tanda siapa yang aka kalah. Kami sudah bosan berteriak. Selain itu kami juga haus dan matahari sudah mulai. Bersamaan hilangnya suara kami Denu dan Endro juga menjadi malas mengadu layang-layang mereka.
“Gimana ini Dro? Seri. Tidak ada yang menang?” kata Denu setengah putus asa.
“Ah jadi malas. Udahan aja Den ayo dipisah,” kata Endro. Mereka berjalan saling mendekai untuk memisahkan layang-layang mereka.
Saat Denu dan Endro tengah sibuh memisah layang-layang mereka datanglah hal yang kami tunggu-tunggu dari tadi. Dani dan Tri datang. Masing-masing menjinjing tas plastik warna hitam yang tampak berat.
“Mas! Mbak! Esnya!” teriak Tri ketika mereka sudah dekat.
“Ya, bawa kesini,” teriak kami hampir bersamaan.
Dani dan Tri adalah anak terkecil diantara kami semua. Mereka yang paling sering kami mintai pertolongan. Tapi jangan sangka kami kejam. Bianya kami patungan memberi upah mereka, seperti saat ini. Masing-masing mendapatkan ubah Rp 300 padahal kami rata-rata membeli makanan seharga Rp 200 tapi itu sebanding dengan usaha mereka.
Mereka membagikan makanan yang kami pesan. Aku menerima es sirup seharga Rp 100 dan dua mie kering yang harganya Rp 50. Aku duduk bersila di pematang sawah. Kaleng bekas susu yang ku gunakan untuk menggulung benang aku cepit dengan kedua kakiku. Rasanya sangat menyegarkan es sirup rasa Frambos mengalir melalui tengoronku.
Hampir semua anak telah menerima makanan mereka. Mereka menikmari segarnya es sambil berdiri. Terlihat sangat nikmat. Memang aneh melihatku menyempatkan duduk hanya untuk menikmati es dan makanan kecil, apalagi untuk anak seusiaku. Karena kakekku pernah berkata kalau makan dan minum sambil berdiri itu sama saja memberi makan setan. Berarti aku dong setannya kan aku yangi makan sambil berdiri. Wah payah.
“Hai Den gimana nih?” teriak Endro dari kejauhan,
“Iya nih kok ngak mau lepas,” balas Denu yang mulai panik.
“Hahahhaha. Rasain makanya ngak usah sok jago. Pakai adu layang-layang segala. Mendingan kaya aku santai,” kata Tyas sambil mengulur benang layang-layang.
“Uh. Nggak bantuin malah meledek. Trus Gimana nih?” tanya Denu.
“Udah mending di turunkan saya. Kalau udah sampai bawah baru di benerin. Kalau kusurnya parahkan kan tinggal dipotong aja. Daripada repor-repot,” usul Lia.
“Ya udah. Den. Di turunkan dulu,” Kata Endro.
“Payah. Sayang padahal sudah tinggi,” Keluh Denu.
Mereka menurunkan laying-lanyang mereka. Setelah menemukan bagian benang yang kusur mereka berdua di bantu Gun dan Edi menguraikan benang yang kusut. Sedangkan aku masih menikmati segarnya es sirup ku sampil menikmati belaian atau tepatnya sabitan daun-daun padi di pipiku yang montok.
Aku sandarkan plastik berisi es dipematang sawah kemudian aku ambil sehelai daun padi dan aku ikatkan ke senar layang-layangku. Aku manarik-narik senar layang-layangku seperti ketika menaikan layang-layang. Ajaib.
Bersamaan dengan tarikan senarku baun padi itu bergerak ke atas. Ini sungguh mengejutkan. Maklum saja waktu itu aku belum tau tentang teori gelombang hehehe. Aku berdiri dengan cepat.
“Hei. Perhatikan ini!” teriaku.
“Apa?.... Ada apa?” teriak beberapa anak yang ingin tahu.
“Hei aku bisa bermain sulap. Perharikan daun padi itu. Lihat naik ketas kan,” kataku sambil menarik-narik senar layang-lanyangku. Mereka semua terpesona.
“Weeeiiiiii. Kok bisa caranya gimana?” tanya Arif penasaran.
“Gampang kok. Ikatkan saja baun padi lalu senarnya ditarik-tarik,” kataku bangga.
“Nyoba Ahh,” kata Pita. Hampir semua anak yang bermain layang-layang mencoba. Aku sendiri mengikatkan satu lagi daun padi di senarku dan mulai menarik-narik tali senarnya.
“Eh aku bisa,” teriak Pita.
“Nggak usah sombong kau. Aku juga bisa. Eh ini seperti kirim surat. Kita pura-puranya ngirim surat buat layang-layang kita,” kata Titi.
“Heh kok aku tidak bisa?” keluh Wahyu.
“Paling kamu mengikatnya terlalu kuat. Tadi aku juga gitu. Setelah ku kendori bisa kok,” terang Mul.
“Orang, ini sudah longgar kok,” tambah Wahyu.
“Berarti kurang kuar!” Teriaku. Disambut gelak tawa semua anak. Memang tidak semua anak bisa melakukannya. Mungkin mengikanya terlalu kuat atau terlalu longgar. Tapi kami senang bisa menemukan kesenangan baru saat bermain layang-layang.
Kami sering lupa waktu kalau bemain layang-layang. Tidak jarang orang tua kami harus menyusul kami ke sawah sambil membawa sepiring nasi agar anaknya tidak kelaparan. Tidak jarang kami bermain layang-layang sampai sore. Jika udara terlalu panas kami menikat layang-layang kami di pangkal rumpun padi dan kami akan mermain ditempat yang teduh atau melihat acara TV di rumah mas Endro. Maklum waktu itu belum semua orang punya TV dan lagi rumahnya paling dekat dengan tempat bermain kami.
Beginilah gambaran kehidupan kami anak desa yang bebas melakukan apa saja yang kami sukai. Tidak ada batasan yang namanya tempat bemain, status sosial bahkan yang namanya gender. Semua permainan yang ada kami mainkan bersama tidak peduli laki-laki atau perempuan. Seperti semboyan Keluarga berencana. Laki-laki atau perempuan sama saja. Hehehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar